Rabu, 05 Februari 2014

Filled Under:

MENYEMPURNAKAN IBADAH DENGAN CARA MEMPERDALAM ILMU AGAMA

Allah selalu berpesan kepada kita, agar selalu bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa, seperti firman Allah dalam surah Ali Imran [3]: 102.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan ber-agama Islam.” (Ali Imran [3]: 102)
            Karena takwa merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim, sifat takwa akan membangun gaya hidup unik yang senantiasa mendorong seorang muslim untuk melakukan kebaikan dan ketaatan, sekaligus menghalaunya dari perbuatan buruk dan maksiat, dengan motivasi mendapatkan pahala dari Allah dan takut tertimpa azab-Nya.
            Seperti yang telah dikatakan oleh Ibnu Abas r.a bahwa orang-orang yang bertakwa adalah yang takut kepada Allah dan siksa-Nya. Ibnu Mas’ud r.a mengatakan takwa kepada Allah adalah perintah-Nya ditaati dan tidak dilanggar, selalu ingat pada-Nya dan tidak dilupakan, dan nikmatnya disyukuri dan tidak diingkari (kufur). Sedangkan Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, takwa adalah berbuat dalam kerangka taat kepada Allah dengan cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala Allah. Begitu pula meninggalkan maksiat kepada Allah dengan cahaya dari Allah dan takut terhadap azab Allah.
            Dengan pengertian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa takwa tidak hanya berupa sifat yang melekat secara tiba-tiba dalam kepribadian seorang muslim, tetapi sifat takwa harus diusahakan melalui perbuatan dengan cara melakukan segala apa yang telah Allah perintahkan berbentuk ibadah dan menjauhkan segala yang telah dilarang oleh Allah semata-mata karena-Nya.
Tidak salah jika setiap hari jumat khotib selalu menasehati kita, agar kita selalu bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, takwa yang diharapkan oleh para khotib tidak hanya takwa bersifat simbolik (tanda) secara lahiriyah saja, atau takwa formalistik tanpa memahami hakekat kesungguhan ibadah, tetapi yang diinginkan oleh para khotib dalam setiap jumat adalah takwa hakiki yang memiliki dampak secara spiritual baik kedekatanya dengan Allah, perhatiannya terhadap orang lain, perhatianya terhadap lingkungan di sekitarnya dan perhatiannya terhadap dirinya sendiri.
            Syahrin Harahap dalam bukunya yang berjudul “Islam Dinamis”, membagi tiga pemahaman tentang takwa yang berkembang di masyarakat, pemahaman pertama, pemahaman simbolik.di sini seseorang memahami taqwa tidak langsung merujuk pada kitab suci Al-Qur’an, melainkan lebih banyak mengacu pada referensi tradisi. Dalam pemahaman ini manusia bertaqwa dirumuskan sebagai seorang yang mengenakan “simbol-simbol kesalehan”, khususnya dalam pandangan awam. Misalnya, mengenakan serban, tasbih di tangan, berjubah dan lain sebagainya.
            Pemahaman kedua, pemahaman normative simplistik, suatu pemahaman yang merujuk kepada Al-Qur’an, namun secara amat dangkal. Dalam pemahaman ini orang bertaqwa dirumuskan kira-kira begini: “orang yang beriman pada yang ghaib dan melakukan shalat, menafkahkan rizeki dan beriman kepada Al-Qur’an, separti dalam firman Allah di surah Al-Baqarah ayat: 1-5:         
Artinya:
“Alif-Laam-Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizeki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung” (Al-Baqarah: 1-5).
            Pemahaman kedua ini terkesan memformulasikan manusia taqwa itu sebagai kuat beragama (beribadah) secara formal, namun tingkat partisipasinya dalam kegiatan sosial ekonomi, pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan, serta perencanaan masa depan, nyaris tak terlihat. Sehingga konsep kedua ini terkesan kurang ramah dan tidak merangsang.
            Pemahaman ketiga, pemahaman rasional sintetik, pemahaman yang didasarkan pada petunjuk kitab suci Al-Qur’an, mengambil referensi tradisi dan merumuskannya memakai idiom-idiom modern. Di sini manusia taqwa dirumuskan kira-kira begini : “orang bertaqwa adalah orang beriman yang: (1) dapat menjalankan fungsi-fungsi kekhalifaannya, (2) orang bertaqwa senantiasa menegakkan shalat sebagai realisasi dari pengakuannya terhadap Allah. (3) memiliki iman yang fungsional, iman yang dibuktikan dengan aktivitas dan amal shaleh. (4). Mempunyai visi yang jelas untuk masa depan, dan lain sebagainya.
            Kiranya pemahaman taqwa ke tiga yang ingin para khotib tanamkan kepada jemaah jumat dicintai Allah, bukan taqwa yang bersifat simbolik (tanda), apalagi simbolnya hanya simbol budaya seperti telah disebutkan di atas, juga bukan taqwa bersifat formal seremoneal (sekedar rutinitas sehari-hari), tetapi taqwa hakiki yang memiliki efek spiritual hubungan antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan social (sesame manusia), hubungan dengan lingkungan dan hubungan dengan dirinya sendiri.
            Permasalahanya sekarang adalah, bagaimana kita mencapai takwa hakiki tersebut? Tadi telah kita bahas bahwa takwa tidak datang secara tiba-tiban dalam kpribadian seorang muslim, tetapi takwa tersebut harus dilatih, diusahakan dengan sekuat tenaga untuk mencapainya dengan cara melakukan ibadah yang telah Allah perintahkan secara ikhlas dan sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah, juga menjauhkan segala larangan Allah dengan sungguh-sungguh. Singkatnya untuk mencapai takwa yang hakiki harus melakukan segala ibadah yang diperintah Allah dengan hakiki dan menjauhi segala larangan yang dilarang oleh Allah dengan hakiki pula.
Ibnu Kasir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ibadah yang diterima oleh Allah harus memenuhi dua syarat: pertama, ikhlas karena Allah, kedua, sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Dengan demikian, jika amal itu sesuai dengan syariah nabi saw, tetapi ketika melakukannya tidak ikhlas, tertolak dan tidak diterima oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang menerangkan keadaan orang munafik:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Alla, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali” (An-Nisaa’: 142)
Begitu pula, jika amal itu dilakukan secara ikhlas, tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw., maka tidak diterima, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Artinya:
“Barang siapa yang beramal tidak menurut tuntunan kami, maka amal itu ditolak.” (HR. Muslim).
            Oleh karena itu, perbuatan para pendeta dan yang seperti mereka, meskipun benar-benar ikhlas, tidak diterima, karena mereka tidak mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Yang diutus kepada semua manusia , sebagai firman Allah:   
Artinya:
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan , lalu kami jadilkan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (Al-Furqan: 23).
Dan Firmanya :
Artinya:
“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga; tetapi bila di datanginya, dia tidak mendapatkannya sesuatu apa pun.” (An-Nuur: 39)
            Dengan begitu amal ibadah akan diterima oleh Allah jika ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Untuk mengetahui hal tersebut kita harus memiliki ilmu pengetahuan tentang agama Islam khususnya ilmu pengetahuan tentang syariah (fiqih) agar ibadah yang dilakukan oleh kita diridhai dan diterima oleh Allah.
            Allah berfirman:
Artinya:
“Dan Katakanlah, “Ya Tuhanku, Tambahkanlah kepadaku Ilmu Pengetahuan.” (Thahaa: 114).
            Al-Hafifizh Ibnu Hajar berkata: “Ayat ini amat jelas menerangkan tentang keutamaan ilmu pengetahuan. Karena Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali meminta tambahan ilmu pengetahuan. Nabi saw. Menamakan majelis yang di dalamnya terdapat orang mempelajari ilmu yang bermamfaat dengan istilah “taman surga”. Juga memberitahukan bahwa para ulama pewaris para nabi.
            Tentunya, seorang sebelum melakukan suatu perbuatan, ia harus mengetahui cara mengerjakannya perbuatan itu dengan benar. Sehingga, perbuatannya itu menjadi benar dan memberikan hasil yang seperti diharapkan. Maka, bagaimana seseorang melakukan ibadah kepada rabbnya yang dengan ibadahnya itu ia mengharapkan selamat dari neraka dan masuk surga, tapi ia tak mengetahui ilmu tentang ibadahnya itu.
            Oleh karena itu, dalam hubungannya antara ilmu pengetahuan dan ibadah manusia terbagi tiga:
            Pertama, mereka yang menyatukan antara ilmu yang bermamfaat dengan amal saleh. Mereka itu telah diberikan hidayat oleh Allah kepada jalan orang-orang yang diberikan nikmat yaitu para nabi, siddiqien, syuhada, dan shalihin.
            Kedua, mereka yang mempelajari ilmu yang bermamfaat tetapi tak beramal denganya. Mereka itu adalah orang–orang yang mendapatkan murka dari Allah, yaitu orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka.
            Ketiga, orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Mereka itu adalah orang-orang yang tersesat dari kalangan nasrani dan orang-orang yang mengikuti mereka.
            Ketiga kelompok ini dirangkum oleh firman Allah dalam surah al-Fatihah yang kita baca dalam dalam setiap rakaat shalat kita:  
Artinya:
“Tunjukila kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 6)
Marik kita reviu (mengulang) untuk membaca dan memperdalami kembali ilmu-ilmu agama Islam kita khususnya ilmu fiqih agar kita tidak termasuk orang yang maghdub dan dhalin dan agar amal kita diterima disisi Allah, mari kita ferifikasi (mempertayakan) kebenaran ilmu agama Islam khususnya ilmu fiqihkita apakah yang telah kita ketahui bebetul–betul benar agar amal yang kitalakukan tidak siasi. Dengan begitu mari kita belajar bersama-sama untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam bik melalui lembaga yang formal atau melalui lembaga non formal, seperti pengajian, tanya jawab, dialog non formal dan lain sebagainya. Mari kita ber doa semuga kita diberikan jalan oleh Allah untuk belajar ilmu-ilmu agama Islam dan semoga amal kita selalu diterima oleh Allah amin.

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 Islam is beautiful .