Jumat, 07 Maret 2014

PENGARUH BACAAN AL-QUR'AN KE OTAK

"Tak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca Al-Qur'an...".

Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat Alquran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa Arab maupun bukan, dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar.

Penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa, menangkal berbagai macam penyakit merupakan pengaruh umum yang dirasakan orang-orang yang menjadi objek penelitiannya. Penemuan sang dokter ahli jiwa ini tidak serampangan.

Penelitiannya ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.

Penelitian Dr. Al Qadhi ini diperkuat pula oleh penelitian lainnya yang dilakukan oleh dokter yang berbeda. Dalam laporan sebuah penelitian yang disampaikan dalam Konferensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan, Al-Quran terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarkannya.

Kesimpulan hasil uji coba tersebut diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang dipublikasikan Universitas Boston. Objek penelitiannya terhadap 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkannya adalah Al-Qur'an.

Penelitian yang dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi dua sesi, yakni membacakan Al-Qur'an dengan tartil dan membacakan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur'an. Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan Al-Qur'an dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab yang bukan dari Al-Qur'an.

Al-Qur'an memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal tersebut diungkapkan Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam Seminar Konseling dan Psikoterapi Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiannya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur'an dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang.

Sungguh suatu kebahagiaan dan merupakan kenikmatan yang besar, kita memiliki Al-Qur'an. Selain menjadi ibadah dalam membacanya, bacaannya memberikan pengaruh besar bagi kehidupan jasmani dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat memengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) seseorang, bacaan Al-Qur'an lebih dari itu. Selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan Al-Qur'an memengaruhi kecerdasan spiritual (SQ).

Mahabenar Allah yang telah berfirman, "Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, simaklah dengan baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat" (Q.S. 7: 204).

Semoga bermanfaat.

Sumber : Fanspage Facebook

Rabu, 05 Maret 2014

Kisah Rasulullah Memakan Jeruk Limau Masam

Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam didatangi oleh seorang wanita kafir.

Ketika itu baginda bersama beberapa orang sahabat. Wanita itu membawa beberapa biji buah limau sebagai hadiah untuk baginda. Cantik sungguh buahnya. Siapa yang melihat pasti tertegun.

Baginda menerimanya dengan senyuman gembira. Hadiah itu dimakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam seulas demi seulas dengan tersenyum.
Biasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam akan makan bersama para sahabat, namun kali ini tidak.
Tidak seulas pun limau itu diberikan kepada mereka. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam terus makan. Setiap kali dengan senyuman, hinggalah habis semua limau itu. Kemudian wanita itu meminta diri untuk pulang, diiringi ucapan terima kasih dari baginda.
Sahabat-sahabat heran dengan sikap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam itu.
Lalu mereka bertanya. Dengan tersenyum Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan :
“Tahukah kamu, sebenarnya buah limau itu terlalu masam semasa saya merasainya kali pertama. Kiranya kalian turut makan bersama, saya khawatir ada di antara kalian yang akan mengenyitkan mata atau memarahi wanita tersebut, Saya khawatir hatinya akan tersinggung. Sebab itu saya habiskan semuanya.”
Begitulah akhlak Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Baginda tidak akan memperkecil-kecilkan pemberian seseorang biarpun benda yang tidak baik, dan dari orang bukan Islam
Subhanallah...
Semoga kita bisa memaknai cerita ini dan bisa untuk terus berbenah diri. Aamiin.

Kisah Sebuah Jenazah yang Mendapat Azab Allah

Ini adalah kisah nyata, kisah proses penguburan seorang pejabat di sebuah kota di Jawa Timur. Nama dan alamat sengaja tidak disebutkan untuk menjaga nama baik jenazah dan keluarga yang ditinggalkan. Insya Allah kisah ini menjadi hikmah dan cermin bagi kita semua sebelum ajal menjemput.

Kisah ini diceritakan langsung oleh seorang Modin (pengurus jenazah) kepada saya. Dengan gaya bertutur, selengkapnya ceritanya begini:

Saya terlibat dalam pengurus jenazah lebih dari 16 tahun, berbagai pengalaman telah saya lalui, sebab dalam jangka atau kurun waktu tersebut macam-macam jenis mayat sudah saya tangani. Ada yang meninggal dunia akibat kecelakaan, sakit tua, sakit jantung, bunuh diri dan sebagainya.

Bagaimanapun, pengalaman mengurus satu jenazah seorang pejabat yang kaya serta berpengaruh ini, menyebabkan saya dapat kesempatan 'istimewa' sepanjang hidup. Inilah pertama kalinya saya merasakan pengalaman yang cukup aneh, menyedihkan, menakutkan dan sekaligus memberikan banyak hikmah.

Sebagai Modin tetap di desa, saya diminta oleh anak almarhum mengurus jenazah Bapaknya. Saya terus pergi ke rumahnya. Ketika saya tiba sampai ke rumah almarhum tercium bau jenazah itu sangat busuk. Baunya cukup memualkan perut dan menjijikan.

Saya telah mengurus banyak jenazah tetapi tidak pernah saya bertemu dengan mayat yang sebusuk ini. Ketika saya lihat wajah almarhum, sekali lagi saya tersentuh. Saya tengok wajahnya seperti dirundung oleh macam-macam perasaan takut, cemas, kesal dan macam-macam. Wajahnya seperti tidak mendapat nur dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Kemudian saya pun ambil kain kafan yang dibeli oleh anak almarhum dan saya potong. Secara kebetulan pula, disitu ada dua orang yang pernah mengikuti kursus "fardu kifayah" atau pengurus jenazah yang pernah saya ajar. Saya ajak mereka membantu saya dan mereka setuju.

Tetapi selama memandikan mayat itu, kejadian pertama pun terjadi, sekedar untuk pengetahuan pembaca, apabila memandikan jenazah, badan mayat itu perlu dibangunkan sedikit dan perutnya hendaklah diurut-urut untuk mengeluarkan kotoran yang tersisa. Maka saya pun urut-urut perut almarhum.

Tapi apa yang terjadi, pada hari itu sangat mengejutkan.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berkehendak dan menunjukkan kekuasaannya karena pada hari tersebut, kotoran tidak keluar dari dubur akan tetapi melalui mulutnya. Hati saya berdebar-debar. Apa yang sedang terjadi di depan saya ini? Telah dua kali mulut mayat ini memuntahkan kotoran, saya harap hal itu tidak terulang lagi karena saya mengurut perutnya untuk kali terakhir.

Tiba-tiba ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta'ala berlaku, ketika saya urut perutnya keluarlah dari mulut mayat itu kotoran bersama beberapa ekor ulat yang masih hidup. Ulat itu adalah seperti ulat kotoran (belatung).

Padahal almarhum meninggal dunia akibat diserang jantung dan waktu kematiannya dalam tempo yang begitu singkat mayatnya sudah menjadi demikian rupa? Saya lihat wajah anak almarhum.

Mereka seperti terkejut. Mungkin malu, terperanjat dan aib dengan apa yang berlaku pada Bapaknya. Kemudian saya tengok dua orang pembantu tadi, mereka juga terkejut dan panik. Saya katakan kepada mereka,"Inilah ujian Allah terhadap kita". Kemudian saya minta salah satu seorang dari pada pembantu tadi pergi memanggil semua anak almarhum.

Almarhum pada dasarnya seorang yang beruntung karena mempunyai tujuh orang anak, kesemuanya laki-laki. Seorang berada di luar negeri dan enam lagi berada di rumah.

Ketika semua anak almarhum masuk, saya nasehati mereka. Saya mengingatkan mereka bahwasanya tanggung jawab saya adalah membantu menguruskan jenazah Bapak mereka, bukan menguruskan semuanya, tanggung jawab ada pada ahli warisnya.

Sepatutnya sebagai anak, mereka yang lebih afdal menguruskan jenazah Bapak mereka itu, bukan hanya imam, hanya bilal, atau guru. Saya kemudian meminta ijin serta bantuan mereka untuk menunggingkan mayat itu. Takdir Allah ketika ditunggingkan mayat tersebut, tiba-tiba keluarlah ulat-ulat yang masih hidup, hampir sebaskom banyaknya.

Baskom itu kira-kira besar sedikit dari penutup saji meja makan. Subhanallah suasana menjadi makin panik. Benar-benar kejadian yang luar biasa sulit diterima akal pikiran manusia biasa. Saya terus berdoa dan berharap tidak terjadi lagi kejadian yang lebih ganjil. Selepas itu saya memandikan kembali mayat tersebut dan saya ambilkan wudhu. Saya meminta anak-anaknya kain kafan.

Saya bawa mayat ke dalam kamarnya dan tidak diijinkan seorang pun melihat upacara itu terkecuali waris yang terdekat sebab saya takut kejadian yang lebih aib akan terjadi.

Peristiwa apa pula yang terjadi setelah jenazah diangkat ke kamar dan hendak dikafani, takdir Allah jua yang menentukan, ketika mayat ini diletakkan di atas kain kafan, saya dapati kain kafan itu hanya cukup menutupi ujung kepala dan kaki tidak ada lebih, maka saya tak dapat mengikat kepala dan kaki.

Tidak keterlaluan kalau saya katakan tampak seperti kain kafan itu tidak mau menerima mayat tadi. Tidak apalah, mungkin saya yang khilaf dikala memotongnya. Lalu saya ambil pula kain, saya potong dan tampung di tempat-tempat yang kurang.

Memang kain kafan jenazah itu jadi sambung-menyambung, tapi apa mau dikata, itulah yang dapat saya lakukan. Dalam waktu yang sama saya berdoa kepada Allah "Ya Allah, jangan kau hinakan jenazah ini ya Allah, cukuplah sekedar peringatan kepada hamba-Mu ini."

Selepas itu saya beri taklimat tentang sholat jenazah tadi, satu lagi masalah timbul, jenazah tidak dapat dihantar ke tanah pekuburan karena tidak ada mobil jenazah/mobil ambulance. Saya hubungi kelurahan, pusat Islam, masjid, dan sebagainya, tapi susah. Semua sedang terpakai, beberapa tempat tersebut juga tidak punya kereta jenazah lebih dari satu karena kereta yang ada sedang digunakan pula.

Suatu hal yang saya pikir bukan sekedar kebetulan. Dalam keadaan itu seorang hamba Allah muncul menawarkan bantuan. Lelaki itu meminta saya menunggu sebentar untuk mengeluarkan van/sejenis mobil pick-up dari garasi rumahnya. Kemudian muncullah sebuah van.

Tapi ketika dia sedang mencari tempat untuk meletakkan vannya itu dirumah almarhum, tiba-tiba istrinya keluar. Dengan suara yang tegas dia berkata dikhalayak ramai: "Mas, saya tidak perbolehkan mobil kita ini digunakan untuk angkat jenazah itu, sebab semasa hayatnya dia tidak pernah mengizinkan kita naik mobilnya."

Renungkanlah kalau tidak ada apa-apanya, tidak mungkin seorang wanita yang lembut hatinya akan berkata demikian. Jadi saya suruh tuan yg punya van itu membawa kembali vannya.

Selepas itu muncul pula seorang lelaki menawarkan bantuannya. Lelaki itu mengaku dia anak murid saya. Dia meminta ijin saya dalam 10-15 menit membersihkan mobilnya itu. Dalam jangka waktu yang ditetapkan itu, muncul mobil tersebut, tapi dalam keadaan basah kuyup. Mobil yang dimaksudkan itu sebenarnya lori.

Dan lori itu digunakan oleh lelaki tadi untuk menjual ayam ke pasar, dalam perjalanan menuju kawasan pekuburan, saya berpesan kepada dua pembantu tadi supaya masyarakat tidak usah membantu kami menguburkan jenazah, cukup tinggal di camping saja akan lebih baik. Saya tidak mau mereka melihat lagi peristiwa ganjil. Rupanya apa yang saya takutkan itu berlaku sekali lagi, takdir Allah yang terakhir amat memilukan.

Sesampainya Jenazah tiba di tanah pekuburan, saya perintahkan tiga orang anaknya turun ke dalam liang dan tiga lagi menurunkan jenazah. Allah Maha Berkehendak atas semua makhluk ciptaan-Nya, saat jenazah itu menyentuh ke tanah tiba-tiba air hitam yang busuk baunya keluar dari celah tanah yang pada asal mulanya kering.

Hari itu tidak ada hujan, tapi dari mana datang air itu? sukar untuk saya menjawabnya. Lalu saya arahkan anak almarhum, supaya jenazah bapak mereka dikemas dalam peti dengan hati-hati. Papan keranda diturunkan dan kami segera timbun kubur tersebut. Selepas itu kami injak-injak tanah supaya mampat dan bila hujan ia tidak mendap/ambrol. Tapi sungguh mengherankan, saya perhatikan tanah yang diinjak itu menjadi becek. Saya tahu, jenazah yang ada di dalam telah tenggelam oleh air hitam yang busuk itu.

Melihat keadaan tersebut, saya arahkan anak-anak almarhum supaya berhenti menginjak tanah itu. Tinggalkan lobang kubur 1/4 meter. Artinya kubur itu tidak ditimbun hingga ke permukaan lubangnya, tapi ia seperti kubur berlobang. Tidak cukup dengan itu, apabila saya hendak bacakan talqin, saya lihat tanah yang diinjak itu ada kesan serapan air.

Masya Allah, dalam sejarah peristiwa seperti itu terjadi. Melihat keadaan itu, saya ambil keputusan untuk selesaikan penguburan secepat mungkin.

Sejak lama terlibat dalam penguburan jenazah, inilah mayat yang saya tidak talqimkan. Saya bacakan tahlil dan doa yang paling ringkas. Setelah saya pulang ke rumah almarhum dan mengumpulkan keluarganya. Saya bertanya kepada istri almarhum, apakah yang telah dilakukan oleh almarhum semasa hayatnya.

1. Apakah dia pernah menzalimi orang alim ?

2. Mendapat harta secara merampas, menipu dan mengambil yang bukan haknya?

3. Memakan harta masjid dan anak yatim ?

4. Menyalahkan jabatan untuk kepentingan sendiri ?

5. Tidak pernah mengeluarkan zakat, shodaqoh atau infaq ?

Istri almarhum tidak dapat memberikan jawabannya. Memikirkan mungkin dia malu Untuk memberi tahu, saya tinggalkan nomor telepon rumah. Tapi sedihnya hingga sekarang, tidak seorang pun anak almarhum menghubungi saya.

Untuk pengetahuan umum, anak almarhum merupakan orang yang berpendidikan tinggi hingga ada seorang yg beristrikan orang Amerika, seorang dapat istri orang Australia, dan seorang lagi istrinya orang Jepang.

Peristiwa ini akan tetap saya ingat. Dan kisah ini benar-benar nyata bukan rekaan atau isapan jempol. Semua kebenaran saya kembalikan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala pencipta jagad raya ini.

Kepada semua Sahabat, tanyalah diri kita akankah kita menginginkan peristiwa itu terjadi pada diri kita sendiri, ibu, bapak kita, anak kita atau kaum keluarga kita ?

Semoga ALLAH memberikan hidayah kepada kita untuk terus menuju kepada ALLAH, dan pada akhir hayat kita, semoga ALLAH mewafatkan kita dalam keadaan khusnul khatimah. Aamiin.
Sumber: Strawberry

Hikmah Mencuci Tangan Ibu

Seorang sarjana muda yang cerdas membuat aplikasi untuk posisi manajerial disebuah perusahaan besar. Dia lulus pada interview tahap pertama, dan tahap selanjutnya adalah interview dengan jajaran direksi. Sang direktur menemukan prestasi-prestasi cemerlang dalam CV anak muda tersebut. Sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, anak muda tersebut selalu mendapat peringkat pertama.

Melihat prestasi-prestasi tersebut, sang direktur pun bertanya: “Apakah Anda menerima beasiswa semasa sekolah dan kuliah?”

Anak muda itu menjawab : “Tidak pak….!”

Direktur bertanya lagi : “Apakah ayah Anda yang membayar biaya sekolah Anda?”

Anak muda itu menjawab : “Ayah saya telah meninggal dunia ketika saya baru berumur satu tahun. Seluruh biaya sekolah saya dibayarkan oleh Ibu saya..”

Lalu Direktur bertanya lagi : “Di mana ibumu bekerja?”

Dan anak muda itu menjawab : “Ibu saya bekerja sebagai seorang pencuci pakaian…”

Direktur itu meminta anak muda tersebut untuk menunjukkan tangannya. Dan anak muda itu memperlihatkan kedua telapak tangannya yang sangat halus. Melihat itu, Direktur bertanya lagi: “Pernahkah Anda membantu ibu Anda mencuci pakaian sebelumnya?”

Anak muda itu menjawab “Tidak pernah pak. Ibu saya selalu menginginkan saya belajar dan membaca banyak buku. Lagipula, Ibu mencuci baju jauh lebih cepat ketimbang saya”

Direktur tersebut kemudian berkata : “Saya punya satu permintaan. Sekarang anda pulang dan ketika nanti anda sampai di rumah, cuci dan bersihkan tangan ibumu, kemudian temui saya besok pagi.”

Anak muda tersebut merasa kesempatannya mendapat pekerjaan tersebut sangat besar. Karena itu ketika dia sampai di rumah, dengan begitu gembira ia meminta izin kepada ibunya agar ia boleh mencuci tangan beliau. Ibunya merasa sedikit asing, aneh, juga bahagia, dan perasaan-perasaan lainnya bercampur jadi satu.

Sang Ibu kemudian memberikan kedua tangannya kepada sang anak. Lalu anak muda tersebut membersihkan tangan Sang Ibu dengan perlahan.

Air matanya mulai menetes saat itu. Ini pertama kalinya ia menyadari bahwa tangan ibunya sudah penuh dengan kerutan, dan terdapat banyak memar dan kapalan di sana sini. Beberapa memar sepertinya terasa begitu sakit, sampai-sampai Sang Ibu meringis ketika memar tersebut dibersihkan.

Ini pertama kalinya anak muda tersebut menyadari bahwa kedua tangan yang sedang dibersihkan inilah yang digunakan Sang Ibu setiap hari untuk mencuci pakaian banyak orang, sehingga Sang Ibu dapat membiayai biaya sekolah anaknya.

Memar-memar dan kapalan yang ada di tangan sang ibu adalah harga yang harus dibayar atas kelulusan anak tersebut, atas prestasinya yang luar biasa, dan untuk masa depannya. Setelah selesai mencuci tangan sang ibu, anak muda tersebut diam-diam mencuci sisa baju yang belum sempat dicuci oleh ibunya. Dan malam itu, anak dan ibu tersebut berbincang sangat lama sekali.

Besok paginya, anak muda tersebut bergegas menemui sang direktur. Direktur tersebut menangkap air mata di wajah anak muda tersebut. Ia pun kemudian bertanya : “Bisa Anda ceritakan apa yang telah Anda lakukan kemarin dan apa pelajaran yang Anda dapat dari sana?”

Anak muda tersebut menjawab : “Saya mencuci tangan ibu saya, dan kemudian saya menyelesaikan sisa cucian ibu yang belum tercuci.“

“Tolong ceritakan perasaan Anda ketika itu” ujar Direktur lagi.

Lalu anak muda itu menjawab : ”Pertama, saya sekarang tahu apa arti apresiasi. Tanpa ibu saya, tidak akan pernah ada seorang saya hari ini. Kedua, saya baru menyadari betapa sulit dan beratnya Ibu menjalani pekerjaannya. Dengan bekerja membantu Ibu, ternyata pekerjaan itu dapat meringankan beban ibu. Ketiga, saya datang hari ini untuk mengapresiasi betapa penting dan bernilainya hubungan keluarga.”

Mendengar itu lalu Direktur tersebut berkata: “Inilah yang saya cari dari seorang calon manager. Saya ingin merekrut seseorang yang dapat mengapresiasi dan menghargai bantuan orang lain, seseorang yang tahu persis perjuangan orang lain untuk mengerjakan sesuatu, dan seseorang yang tidak akan menempatkan uang sebagai tujuan hidup satu-satunya. Oleh karena itu mulai hari ini anda diterima bekerja disini…!”.

Subhanallah, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mencintai ibu kita dengan tulus dan kita perhatikan sosok ibu kita yang telah banyak berkorban untuk kita?

Lakukan hal yang belum pernah kita lakukan untuk ibu kita, karena itu akan membuat ibu kita terkesan dan bahagia. Selamat mencoba!!!

Semoga bermanfaat bagi yang membacanya .....

Mengapa Nabi Muhammad Sangat Sayang Terhadap Kucing?

NABI Muhammad SAW memiliki seekor kucing yang diberi nama Mueeza. Suatu saat, di kala Nabi hendak mengambil jubahnya, ditemuinya Mueeza sedang terlelap tidur dengan santai diatas jubahnya. Tak ingin mengganggu hewan kesayangannya itu, Nabi pun memotong belahan lengan yang ditiduri Mueeza dari jubahnya.

Ketika Nabi kembali ke rumah, Muezza terbangun dan merunduk sujud kepada majikannya. Sebagai balasan, Nabi menyatakan kasih sayangnya dengan mengelus lembut ke badan mungil kucing itu sebanyak 3 kali. Dalam aktivitas lain, setiap kali Nabi menerima tamu di rumahnya, nabi selalu menggendong mueeza dan di taruh dipahanya. Salah satu sifat Mueeza yang Nabi sukai ialah ia selalu mengeong ketika mendengar adzan, dan seolah-olah suaranya terdengar seperti mengikuti lantunan suara adzan. Kepada para sahabatnya, Nabi berpesan untuk menyayangi kucing peliharaan, layaknya menyanyangi keluarga sendiri.
Hukuman bagi mereka yang menyakiti hewan lucu ini sangatlah serius. Dalam sebuah hadist shahih Al Bukhari, dikisahkan tentang seorang wanita yang tidak pernah memberi makan kucingnya, dan tidak pula melepas kucingnya untuk mencari makan sendiri, Nabi Muhammad SAW pun menjelaskan bahwa hukuman bagi wanita ini adalah siksa neraka.

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Seorang wanita dimasukkan kedalam neraka karena seekor kucing yang dia ikat dan tidak diberikan makan bahkan tidak diperkenankan makan binatang-binatang kecil yang ada di lantai,” (HR. Bukhari).

Nabi menekankan di beberapa hadist bahwa kucing itu tidak najis. Bahkan diperbolehkan untuk berwudhu menggunakan air bekas minum kucing karena dianggap suci.

Kenapa Rasulullah Saw yang buta baca-tulis, berani mengatakan bahwa kucing itu suci, tidak najis? Lalu, bagaimana Nabi mengetahui kalau pada badan kucing tidak terdapat najis?

Keistimewaan Kucing 

Fakta Ilmiah 1: Pada kulit kucing terdapat otot yang berfungsi untuk menolak telur bakteri. Otot kucing itu juga dapat menyesuaikan dengan sentuhan otot manusia. Permukaan lidah kucing tertutupi oleh berbagai benjolan kecil yang runcing, benjolan ini bengkok mengerucut seperti kikir atau gergaji. Bentuk ini sangat berguna untuk membersihkan kulit. Ketika kucing minum, tidak ada setetes pun cairan yang jatuh dari lidahnya. Sedangkan lidah kucing sendiri merupakan alat pembersih yang paling canggih, permukaannya yang kasar bisa membuang bulu-bulu mati dan membersihkan bulu-bulu yang tersisa di badannya.

Fakta Ilmiah 2: Telah dilakukan berbagai penelitian terhadap kucing dan berbagai perbedaan usia, perbedaan posisi kulit, punggung, bagian dalam telapak kaki, pelindung mulut, dan ekor. Pada bagian-bagian tersebut dilakukan pengambilan sample dengan usapan. Di samping itu, dilakukan juga penanaman kuman pada bagian-bagian khusus. Terus diambil juga cairan khusus yang ada pada dinding dalam mulut dan lidahnya. Hasil yang didapatkan adalah: – Hasil yang diambil dari kulit luar tenyata negatif berkuman, meskipun dilakukan berulang-ulang. – Perbandingan yang ditanamkan kuman memberikan hasil negatif sekitar 80% jika dilihat dari cairan yang diambil dari dinding mulut. – Cairan yang diambil dari permukaan lidah juga memberikan hasil negatif berkuman. – Sekalinya ada kuman yang ditemukan saat proses penelitian, kuman itu masuk kelompok kuman yang dianggap sebagai kuman biasa yang berkembang pada tubuh manusia dalam jumlah yang terbatas seperti, enterobacter, streptococcus, dan taphylococcus. Jumlahnya kurang dan 50 ribu pertumbuhan. – Tidak ditemukan kelompok kuman yang beragam. – Berbagai sumber yang dapat dipercaya dan hasil penelitian laboratorium menyimpulkan bahwa kucing tidak memiliki kuman dan mikroba. Liurnya bersih dan membersihkan.

Komentar Para Dokter Peneliti

- Menurut Dr. George Maqshud, ketua laboratorium di Rumah Sakit Hewan Baitharah, jarang sekali ditemukan adanya kuman pada lidah kucing. – Jika kuman itu ada, maka kucing itu akan sakit. – Dr. Gen Gustafsirl menemukan bahwa kuman yang paling banyak terdapat pada anjing, – Manusia 1/4 anjing, kucing 1/2 manusia. – Dokter hewan di rumah sakit hewan Damaskus, Sa’id Rafah menegaskan bahwa kucing memiliki perangkat pembersih yang bemama lysozyme. – Kucing tidak suka air karena air merupakan tempat yang sangat subur untuk pertumbuhan bakteri, terlebih pada genangan air (lumpur, genangan hujan, dll) – Kucing juga sangat menjaga kestabilan kehangatan tubuhnya. Ia tidak banyak berjemur dan tidak dekat-dekat dengan air. – Tujuannya agar bakteri tidak berpindah kepadanya. Inilah yang menjadi faktor tidak adanya kuman pada tubuh kucing.

Fakta Ilmiah 3: Dan hasil penelitian kedokteran dan percobaan yang telah di lakukan di laboratorium hewan, ditemukan bahwa badan kucing bersih secara keseluruhan. Ia lebih bersih daripada manusia.

Fakta Ilmiah Tambahan: Zaman dahulu kucing dipakai untuk terapi. Dengkuran kucing yang 50Hz baik buat kesehatan selain itu mengelus kucing juga bisa menurunkan tingkat stress.

Sisa makanan kucing hukumnya suci. Hadist Kabsyah binti Ka’b bin Malik menceritakan bahwa Abu Qatadah, mertua Kabsyah, masuk ke rumahnya lalu ia menuangkan air untuk wudhu. Pada saat itu, datang seekor kucing yang ingin minum. Lantas ia menuangkan air di bejana sampai kucing itu minum.

Kabsyah berkata, “Perhatikanlah.” Abu Qatadah berkata, “Apakah kamu heran?” Ia menjawab, “Ya.” Lalu, Abu Qatadah berkata bahwa Nabi SAW prnh bersabda, “Kucing itu tidak najis. Ia binatang yang suka berkeliling di rumah (binatang rumahan),” (H.R At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah).

Diriwayatkan dan Ali bin Al-Hasan, dan Anas yang menceritakan bahwa Nabi Saw pergi ke Bathhan suatu daerah di Madinah. Lalu, beliau berkata, “Ya Anas, tuangkan air wudhu untukku ke dalam bejana.” Lalu, Anas menuangkan air. Ketika sudah selesai, Nabi menuju bejana. Namun, seekor kucing datang dan menjilati bejana. Melihat itu, Nabi berhenti sampai kucing tersebut berhenti minum lalu berwudhu.

Nabi ditanya mengenai kejadian tersebut, beliau menjawab, “Ya Anas, kucing termasuk perhiasan rumah tangga, ia tidak dikotori sesuatu, bahkan tidak ada najis.”

Diriwayatkan dari Dawud bin Shalih At-Tammar dan ibunya yang menerangkan bahwa budaknya memberikan Aisyah semangkuk bubur. Namun, ketika ia sampai di rumah Aisyah, tenyata Aisyah sedang shalat. Lalu, ia memberikan isyarat untuk menaruhnya. Sayangnya, setelah Aisyah menyelesaikan shalat, ia lupa ada bubur.

Datanglah seekor kucing, lalu memakan sedikit bubur tersebut. Ketika ia melihat bubur tersebut dimakan kucing, Aisyah lalu membersihkan bagian yang disentuh kucing, dan Aisyah memakannya.

Rasulullah Saw bersabda, “Ia tidak najis. Ia binatang yang berkeliling.” Aisyah pernah melihat Rasulullah Saw berwudhu dari sisa jilatan kucing.” (H.R AlBaihaqi, Abd Al-Razzaq, dan Al-Daruquthni).

Hadis ini diriwayatkan Malik, Ahmad, dan imam hadits yang lain. Oleh karena itu, kucing adalah binatang, yang badan, keringat, bekas dari sisa makanannya adalah suci, Liurnya bersih dan membersihkan, serta hidupnya lebih bersih daripada manusia. Mungkin ini pula-lah mengapa Rasulullah SAW sangat sayang kepada Muezza, Kucing kesayangannya

Ahli Kubur Menangis Karena Pernah Tidak Wudhu Saat Shalat Subuh

 

Siksa kubur itu memang benar adanya, tak diragukan lagi. Dan salah satunya adalah yang diceritakan oleh Imam Ghazali ketika dia sedang bermimpi. Kala itu ia sedang melihat seorang pemuda yang disiksa dan dihadang srigala.

Inilah Kisahnya :

Setelah selesai berdakwah di beberapa tempat, Imam Ghazali tiba di rumahnya tengah malam. Ia nampaknya sangat senang sekali karena banyak orang yang tertarik dengan ajaran Agama Islam. "Alhamdulillah...mudah-mudahan dakwahku membuat banyak orang tertarik," kata Imam Ghazali setibanya di rumah.
Beberapa saat kemudian, sebelum tidur, Imam Ghazali mengambil air wudhu untuk mengerjakan shalat Tahajud. Usai shalat, ia berzikir sebagaimana biasa ia kerjakan.

Selepas zikir, sebenarnya ia ingin membaca Al Qur'an, namun tiba-tiba dia merasakan kantuk yang sangat luar biasa. Akhirnya ia tertidur di mushola.

Tak lama kemudian, dia bermimpi yang cukup mengejutkan. "Astaghfirullah ... kenapa aku bermimpi seperti itu?" gumannya dalam hati.

Setelah mimpinya berakhir, ia bangun dari tidurnya. Lalu Imam Ghazali melakukan shalat malam lagi hingga menjelang shalat subuh.

Setelah shalat subuh berjamaah, sebagaimana biasanya, Imam Ghazali memberikan fatwa kepada jamaah subuhnya. Setelah memberikan salam, Imam Ghazali menghentikan pembicaraannya.

Kemudian Imam Ghazali berkata kepada para jamaahnya,
"Tadi malam aku baru saja bermimpi yang cukup mengejutkan. Baru kali ini aku mimpi seperti itu," ujarnya kepada para jamaahnya.

"Segera saja utarakan kepada kami, aku yakin mimpi itu pasti sangat menarik bagi kita semua," kata salah satu jamaahnya.

Setelah mendengarkan dari salah satu jamaah itu, Imam Ghazali mengatakan, dalam mimpi itu ada kejadian yang cukup aneh. Menurut Imam Ghazali, ia bermimpi melihat sebuah kuburan yang terbelah. Lalu keluarlah beberapa orang yan telah mati. Di antara mayat-mayat itu ada seorang pemuda yang disiksa dengan berbagai jenis siksaan.

"Aku kasihan sekali dengan dia, meski dia bukan keluargaku. Karena itulah aku mendekatinya," kata Imam Ghazali.

Kemudian dalam mimpinya Imam Ghazali mendekati pemuda itu. Setelah dekat, Imam Ghazali memberi salam. Usai salam dari Imam Ghazali dijawab, maka ia bertanya dengan nada pelan,

"Hai anak muda penghuni kubur, ada apa denganmu? Mengapa engkau disiksa, sementara temanmu tidak?" tanta Imam Ghazali.

Ahli Kubur Menangis ..

Pertanyaan dari Imam Ghazali membuat anak muda itu menangis. Kemudian pemuda ahli kubur itu menjawab dengan nada pelan juga.

"Hai Imam Ghazali. Demi Allah, bantulah keterasinganku. Mudah-mudahan Allah memberikan jalan keluar bagiku dari siksa ini melaluimu, Siksaan yang sangat pedih ini."

Setelah berbicara demikian, pemuda itu menangis sesenggukan. Lalu Imam Ghazali bertanya lagi,







"Coba kamu ceritakan. Aku ingin mengetahuinya."

Mendapat pertanyaan dari Imam Ghazali, pemuda itu menghentikan tangisnya. kemudian mulailah ia menceritakan apa yang terjadi. Ia berkata bahwa ketika ia masih hidup, pernah meninggalkan wudhu ketika akan melaksanakan shalat.

"Aku pernah tidak wudhu ketika akan shalat subuh, karena aku takut kedinginan," kata pemuda itu.

Mendengar cerita dari pemuda itu, Imam Ghazali sedih sekali, karena itulah ia bertanya,

"Apa hubungannya antara siksaan yang kamu terima yang begitu dahsyat dengan kamu tidak berwudhu ketika shalat subuh?"

Pemuda itu menjelaskan dengan terbata-bata sambil menangis, "Akibat aku tidak wudhu itulah aku disiksa dan dalam kuburku ini aku dihadang oleh serigala yang menakutkan sekali. Keadaanku semakin bertambah buruk."

Begitulah beritanya kawan.

Seorang muslim yang shalat tanpa wudhu sekali saja sudah sangat dahsyat siksaannya, apalagi yang tidak shalat... Mari kita berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan shalat.

Subhanallah.....

Semoga ALLAH senantiasa membimbing kita dan menguatkan iman dan ketakwaan islam kepada diri kita sehingga kita bisa istiqomah dalam melaksanakan shalat 5 waktu. Aamiin.

Merasakan Manisnya Iman

 

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata, " Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya,

"Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu); Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah; Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam api." (Muttafaq 'alaih)

Rawi Hadits

Dia seorang sahabat Nabi yang mulia, Abu Hamzah Anas bin Malik bin an-Nadlar an-Najjari al-Khazraji radhiyallahu 'anhu. Seorang imam, ahli baca al-Qur'an, mufti, muhaddits, riwayatul Islam dan sekaligus pelayan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Al-Imam adz-Dzahabi mengatakan, "Dia mendampingi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan begitu sempurna, dan senantiasa menyertai Rasul semenjak beliau hijrah ke Madinah. Berkali-kali dia mengikuti perang beserta Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan merupakan salah seorang yang ikut berbai'at di bawah pohon (bai'atul 'aqabah)."

Anas radhiyallahu 'anhu berkata, "Aku melayani Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah memukulku, tidak pernah mencelaku dan tidak pernah bermuka masam di hadapanku." Rasulullah mendoakan Anas agar dikaruniai harta dan anak yang banyak dan doa beliau dikabulkan Allah. Disebutkan bahwa putra-putri Anas pada masa menjelang wafat mencapai lebih dari seratus orang. Beliau meninggal pada tahun 91 atau 92 hijriyah. Beliau adalah sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang paling akhir meninggal dunia, dan ketika beliau wafat, maka bersedihlah semua orang sehingga dikatakan, "Separuh ilmu telah pergi".

Makna Hadits

-Tiga hal, maksudnya adalah tiga ciri atau sifat.

-Jika tiga hal itu ada pada seseorang maka dia akan merasakan manisnya iman. Maksud ada pada dirinya yaitu secara utuh keseluruhannya. Maka artinya adalah ada tiga sifat yang jika tiga sifat itu ada pada seseorang maka orang tersebut akan merasakan manisnya iman. Dan yang dimaksud dengan manisnya iman adalah rasa nikmat ketika melakukan ketaatan kepada Allah, ketenangan hati dan lapangnya dada.

Al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Syaikh Abu Muhammad bin Abu Hamzah berkata, "Pengungkapan dengan lafal "manis" karena Allah subhanahu wata'ala mengumpamakan iman sebagaimana pohon, seperti di dalam firman-Nya, surat Ibrahim 24, "Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik."

Kalimat thayyibah (baik) adalah kalimatul ikhlash, kalimat tauhid, sedangkan pohon merupakan pokok dari keimanan, cabang-cabangnya adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan, daun-daunnya adalah segala amal kebaikan yang harus diperhatikan seorang mukmin, dan buahnya adalah segala macam bentuk ketaatan. Manisnya buah akan didapat ketika buah sudah matang, dan puncak dari rasa manis itu adalah bila buah telah masak total, maka ketika itulah akan terasa manisnya buah tersebut.

-Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari pada selain keduanya, artinya mencintai Allah subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya melebihi cintanya kepada orang lain seperti orang tua, anak, diri sendiri dan semua orang.

-Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allah. Maksudnya adalah hendaknya hubungan antara seorang muslim dengan saudaranya -muslim yang lain- dilandasi dengan iman kepada Allah subhanahu wata'ala dan amal shalih. Bertambahnya kecintaan bukan karena mendapatkan keuntungan materi dan berkurangnya cinta bukan karena tiadanya manfaat dunia yang diperoleh, namun ukurannya adalah iman dan amal shalih.

-Benci jika kembali kepada kekufuran, sebagaimana bencinya jika dilemparkan ke dalam api. Di dalam riwayat lain disebutkan, "Bahkan dilemparkan ke dalam api lebih dia sukai daripada kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkan dia dari kekufuran itu." Ini maknanya lebih mendalam daripada riwayat di atas, karena riwayat di atas menunjukkan kesamaan tingkat di dalam membenci kekufuran dan membenci jika dibakar di dalam api.

Beberapa Faidah dan Hukum
 
  • Iman kepada Allah subhanahu wata'ala memiliki rasa manis yang tidak mungkin dinikmati, kecuali oleh orang-orang yang beriman dengan sebenarnya, yang disifati dengan ciri-ciri yang mengindikasikan sebagai ahlinya. Oleh karena itu, tidak semua orang yang menyatakan dirinya mukmin otomatis dapat merasakan manisnya iman itu.
  • Cinta Allah, kemudian disusul cinta Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam merupakan ciri terpenting yang harus dimiliki oleh siapa saja yang ingin merasakan lezatnya iman. Cinta Allah dan cinta rasul-Nya tidak boleh diungguli oleh cinta kepada siapa pun selain keduanya. Bahkan cinta Allah dan Rasul-Nya merupakan parameter dan tolok ukur bagi kecintaan terhadap diri sendiri, orang tua, anak, dan seluruh manusia.

    Suatu ketika Umarradhiyallahu 'anhuberkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari pada segala sesuatu apa pun, kecuali diriku." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak demikian, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sehingga aku lebih engkau cintai dari pada dirimu sendiri." Maka Umar menjawab, "Demi Allah, sesungguhnya engkau sekarang lebih aku cintai dari pada diriku sendiri." Maka Nabi mejawab, "Sekarang hai Umar," (telah sempurna imanmu). Anas radhiyallahu 'anhu juga meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, artinya,

    "Tidak beriman salah seorang di antara kalian, sehingga aku lebih dia cintai dari pada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia." Dan konsekuensi dari cinta ini adalah memenuhi apa yang diperintahkan Allah dan Rasul serta menjauhi apa yang dilarang Allah dan Rasul dengan penuh rasa rela dan ketundukan yang utuh, sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala, artinya,

    'Katakanlah, "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.' (QS. 3:31)
  • Di antara sebab-sebab yang dapat mengantarkan seseorang memperoleh kecintaan Allah -setelah melakukan kewajiban- adalah sebagaimana yang disampaikan al-Imam Ibnul Qayyim, yaitu:
    • Membaca al-Qur'an dengan merenungkan dan memahami maknanya.
    • Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata'ala dengan melakukan amalan sunnah.
    • Terus menerus berdzikir kepada Allah dalam segala kondisi, baik dengan hati, lisan atau perbuatan.
    • Mendahulukan apa yang dicintai Allah dibanding yang dicintai diri sendiri.
    • Berteman dengan orang-orang yang jujur mencintai Allah dan sesama muslim.
    • Menjauhi segala perkara yang dapat menghalangi antara hati dengan Allah.

  • Mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah merupakan tuntutan dari kecintaan terhadap Allah subhanahu wata'ala. Ia berada di atas kecintaan terhadap seluruh manusia. Di antara ciri-cirinya adalah:
    • Beriman bahwa beliau shallallahu 'alaihi wasallam adalah utusan Allah, yang diutus kepada seluruh umat manusia, sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, sebagai penyeru ke jalan Allah dengan membawa cahaya yang terang benderang.
    • Bercita-cita untuk bertemu dengan beliau dan khawatir jika tidak dapat bertemu beliau.
    • Menjalankan perintah-perintah beliau dan menjauhi larangan beliau, karena orang yang mencintai seseorang, maka akan menaatinya. Jangan sampai tertipu dengan klaim dusta mencintai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallamnamun tidak menjalankan perintahnya, bahkan menerjang larangannya.
    • Menolong sunnahnya, mengamalkan, menyebarkan, membela dan memperjuangkannya.
    • Banyak bershalawat dan bersalam kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
    • Berakhlaq dengan akhlaq beliau dan beradab dengan adab-adab beliau.
    • Mencintai sahabat-sahabat beliau dan membela mereka.
    • Mengkaji perjalanan hidup dan sirah beliau serta mengetahui keadaan dan berita-berita yang menyangkut beliau.

  • Selayaknya jalinan seorang muslim dengan muslim yang lain dibangun di atas landasan cinta kepada Allah subhanahu wata'ala. Karena jenis cinta seperti ini memiliki keutamaan yang amat besar, dan mendatangkan pahala yang banyak. Imam al-Bukhari dan imam Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Salah satu di antaranya adalah, "Dua orang yang saling menyintai karena Allah, berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya." 
     
  • Saling mencintai karena Allah mempunyai hak-hak yang harus ditunaikan, di antaranya:
    • Membantu memenuhi kebutuhan saudaranya dan mau melakukan itu, sebagaimana di dalam hadits, "Sebaik-baik orang adalah yang paling memberi manfaat kepada orang lain." 
       
    • Tidak membicarakan aib, meminta maaf ketika melakukan kesalahan, sebagaimana diri kita juga senang jika aib kita tidak dibicarakan, maka mereka pun demikian.
    • Tidak membenci, tidak iri dan dengki terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada saudara kita.
    • Mendoakan saudara kita -tanpa sepengetahuannya- baik ketika dia masih hidup atau setelah meninggal dunia. Karena doa yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakan adalah mustajab, begitu pula bagi yang berdoa.
    • Bersegera mengucapkan salam jika bertemu, bertanya tentang kabar dan keadaanya, tidak bersikap sombong dan merasa tinggi.

  • Kekufuran adalah hal yang dibenci Allah. Maka seorang mukmin wajib membencinya sebagaimana benci jika dilemparkan ke dalam api, bahkan lebih benci lagi. Orang kafir juga dibenci oleh Allah, maka orang mukmin juga harus membencinya disebabkan oleh kekufurannya yang akan menggiring masuk neraka. Atas dasar ini maka bersikap loyal (berwala') kepada orang kafir adalah merupakan sebab dari kemurkaan Allah subhanahu wata'ala dan kemarahan-Nya. Di antara bentuk-bentuk sikap loyal kepada orang kafir adalah mencintai mereka, menolong mereka dalam rangka memerangi orang mukmin, bermudahanah (berbasa-basi, tidak mengingkari kesesatan dan kekeliruan mereka sehingga terkesan membenarkan-red), bersahabat atau mengambil mereka sebagai teman akrab dan mengangkat mereka menjadi orang kepercayaan serta orang dekat (bithanah). Padahal Allah subhanahu wata'ala telah berfirman, artinya,

    'Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).' (QS. 3:28)

    Diambil dan diterjemahkan oleh Abu Ahmad Taqiyuddin dari makalah Syaikh Nashir al-Syimali, dengan judul 'halawatul iman.'

Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Islam

Semua mempunyai argumen masing-masing. Mengedepankan fikrah & manhaj masing-masing. Pedoman hidup kita sama (quran & sunnah). Tujuanpun sama. Hanya saja, kita berada pada perahu yang berbeda. Nahkoda kapal mempunyai strategi masing-masing untuk melakukan navigasi dan mengarahkan awak kapal untuk berlayar pada tujuan (yang sama tadi).
Ada berbagai macam aliansi, partai, dan pergerakan organisasi di Indonesia itu adalah merupakan ketetapan yang sudah Allah sebut melalui kitabNya.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al Hujurat – 13)
Sebagai hamba yang beriman, kita diperintahkan untuk bisa menerima bahwa adanya berbagai macam perbedaan pendapat dan paham itu sudah merupakan ketetapan Allah. Dan sudah seharusnya juga kita menyikapi hal ini secara wajar. Dalam arti tetap menjalin interaksi dan toleransi terhadap berbagai macam golongan dengan tetap mepertahankan nilai-nilai Islam.
Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.
Untuk bidang hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in.
Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur’an, syarah hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.
Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam ilmu agama. Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni di bidangnya.
Para sahabat pernah berbeda pendapat tentang menyikapi perintah Rasulullah agar shalat di tempat Bani Quraidhah. Ibnu Abbas berbeda pendapat dengan Aisyah tentang Rasulullah ketika Isra’ – Mi’raj, apakah Nabi melihat Allah dengan mata kepala atau mata hati atau melihat cahaya. Ibnu Mas’ud berbeda pendapat dengan Utsman bin Affan tentang shalat di Mina pada musim haji, di-qashar atau disempurnakan. Ibnu Mas’ud juga berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas tentang penafsiran salah satu tanda besar kiamat, yaitu Ad-Dukhan (asap atau kabut).
Dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua perbedaan itu tidak menyebabkan mereka berpecah belah atau saling menghujat dan menjatuhkan, mereka tetap bersaudara, rukun dan saling menghormati.
Bahkan, malaikat juga berbeda pendapat. Yaitu ketika ada seseorang yang telah membunuh seratus orang (beberapa riwayat menyebut 99 orang), kemudian ia bertaubat dan pergi berhijrah lalu meninggal dunia dalam perjalanan. Terjadi perbedaan pendapat antara malaikat rahmat dengan malaikat adzab dalam menyikapinya. Malaikat rahmat (yang kita kenal dengan nama Ridwan) berpendapat bahwa orang ini adalah ahli surga karena telah bertaubat, sedang malaikat adzab (yang kita kenal dengan nama Malik) berpendapat bahwa orang ini adalah ahli neraka karena telah membunuh seratus orang dan belum berbuat kebaikan. Akhirnya Allah mengirimkan malaikat ketiga yang memutuskan perkara bahwa orang tersebut adalah ahli surga. Kisah ini terdapat dalam riwayat-riwayat sahih, seperti diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Adapun berbagai macam fenomena yang sering timbul di tengah hingar bingar perbedaan pendapat antar golongan ini biasanya mengakibatkan seseorang terlalu berlebihan dan terlalu kaku (tidak fleksibel) dalam berpikir, bergerak, dan belajar. Yang jatuhnya justru akan melemahkan fungsi dakwah itu sendiri.
Fanatik. Atau yang juga kita kenal dengan istilah Ashobiyah. Terlalu berlebihan dalam memuja golongannya, hanya menerima pendapat dan masukan dari orang-orang kalangan internal mereka saja, dan tidak berkenan menerima masukan dari pihak luar yang bukan golongan mereka. Alih-alih mengamalkan saran, bahkan untuk sekedar menerima dengan rasa ikhlas saja juga terkadang sulit. Karena sudah tertanam dalam kepala mereka bahwa golongannya adalah yang paling benar.
Ruang Gerak Terbatas. Secara otomatis lingkup interaksi dengan masyarakat sosial juga berubah. Karena sudah kadung fanatik dengan pemahamannya, yang ternyata juga tidak sedikit dari pemahaman itu merupakan tafsir yang kaku, maka tak bisa dipungkiri bahwa mereka juga akan membatasi diri mereka sendiri dalam berdakwah (menyampaikan), karena melihat kondisi masyarakat Indonesia saat ini memang sangat banyak manusia yang secara moral dan perilaku sudah jauh dari nilai Islam.
Ideologi Ekstrim. Faktanya, saat ini ada beberapa kelompok yang dengan bangga menunjukkan sebuah ideologi dalam kemasan baru yang sangat sulit diterima oleh kondisi sosial, dan anehnya ideologi itu dijadikan sebagai salah satu pondasi dasar bagi golongan itu untuk mendukung dan menjadikan motivasi bagi pergerakan mereka. Yang jadi pertanyaan adalah, bagaimanaa mungkin bisa memasuki dunia seorang jika sedari awal tidak mencoba untuk melakukan pendekatan melalui dunia mereka? Ya, sama halnya juga ketika kita mencoba untuk menyampaikan (dakwah) terhadap suatu objek dakwah, bagaimana mungkin dakwah bisa diterima jika cara menyampaikannya kurang tepat (kurang diterima oleh objek dakwah), atau bahkan keliru?
Pemahaman Yang Kaku. “Kalau teks Al Quran mengatakan A, maka jangan dibilang bahwa boleh melakukan B, C, dst. Karena hal itu sudah berarti menyalahi Al Quran. Begitu juga dengan hadits.”. Mungkin kutipan barusan juga sering menjadi sebuah seruan yang dilontarkan oleh golongan tertentu. Iya, benar, bisa diartikan demikian. Tapi jangan melupakan tentang keberadaan Tafsir dan pemikiran serta pendapat para Ulama, atau yang biasa kita sebut sebagai Ijtihad. Karena dari sanalah muncul pendapat versi A, versi B, dst. Seperti yang diawal sudah dibahas. 

Faktor Yang Melatar Belakangi Timbulnya Efek Negatif

Rendahnya Pemahaman Agama

Hal ini, misalnya, dapat lahir dari penguasaan bahasa Arab yang minim. Akibat langsungnya akses terhadap Al Qur’an, Hadits serta literatur-literatur induk ajaran Islam otomatis jadi terbatas pula. Memahami arti secara tekstual saja tidaklah cukup untuk memunculkan ijtihad di kalangan umum. Yang mengerti bahasa Arab saja terkadang masih kaku, terlebih yang tak menguasainya.
Sayangnya, rendahnya pemahaman agama ini tidak mampu mendorong semangat tinggi sebagian orang untuk berusaha belajar. Padahal ijtihad memerlukan ulama dengan kualifikasi dan tingkat kompetensi serta kapasitas keilmuan yang tinggi. Karena jika tidak memiliki itu semua, akhirnya yang diandalkan adalah sekadar lontaran-lontaran pemikiran namun tanpa landasan metodologi yang jelas.
Rendahnya kualitas pemahaman agama bisa juga akibat dari rendahnya mutu pendidikan agama secara umum. Salah satu pemicunya, input sekolah-sekolah agama yang biasanya “sisa” calon siswa yang tidak mampu bersaing memperebutkan kursi sekolah favorit. Bukan rahasia lagi bila ada sekolah-sekolah yang dijadikan sebagai pelarian bagi mereka yang tidak lulus di sekolah-sekolah unggulan.
Memperturutkan Hawa Nafsu

Baik itu karena mengejar popularitas, materi, atau kepentingan-kepentingan sesaat lainnya. Al Quran menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu sebagai berikut;
Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jathiyah – 23)
Fenomena memperturutkan hawa nafsu ini misalnya dapat dilihat dari penjabaran secara serampangan terhadap Hadits dan Al Quran. Yang selanjutnya menjadikan itu semua sebagai alat pembenaran akan pendapat serta pemahaman mereka.
Konflik dan Permusuhan

Kebencian atau sikap tidak senang kepada pihak lain kerap melahirkan subjektivitas yang berlebihan. Pada gilirannya, sikap ini akan berujung pada sikap ujub dan akhirnya penolakan terhadap kebenaran.
Allah berfirman,
Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran: 19)

Sikap Toleran Terhadap Perbedaan Pendapat

Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang melarang perpecahan (iftiraq) dan perselisihan (ikhtilaf), namun apabila kita mencermati, akan tampak oleh kita bahwa yang dimaksud adalah berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang berdampak kepada perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah cabang agama atau Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh sampai berdampak atau berujung pada perpecahan, karena para sahabat juga berbeda pendapat akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain tanpa saling menghujat atau melecehkan dan menjatuhkan.
Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Quran dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti, dan menolak pendapat lain sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama.
Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.
Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Madinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya. Di sini kita bisa mengetahui betapa Imam Ahmad lebih mengutamakan sebuah esensi dari nilai Ukhuwah.
Ada ungkapan yang cukup indah dari Muhammad Rasyid Ridha, “Marilah kita tolong menolong pada perkara yang kita sepakati, dan mari kita saling menghargai pada perkara yang kita perselisihkan.
Jadi, kalau Malaikat dan para Nabi saja bisa berbeda pendapat, mengapa kita harus berpecah dan bermusuhan karena perbedaan?

Kisah Pembunuhan Utsman bin Affan

Abu Hurairah menangis mengingat wafatnya Utsman bin ‘Affan. Terbayang di hadapannya apa yang diperbuat bughat terhadap khalifah. Sebuah tragedi tercatat dalam lembaran tarikh Islam; menorehkan peristiwa kelabu atas umat ummiyah.

Dengan keji, pembunuh-pembunuh itu menumpahkan darah. Tangan menantu Rasulullah n ditebas, padahal jari-jemari itulah yang dahulu dipercaya Rasul n mencatat wahyu Allah. Darah pun mengalir membasahi Thaybah.

Dengan penuh cinta dan ridha kepada Allah, Amirul Mukminin mengembuskan nafas terakhir, meraih syahadah dengan membawa hujjah dan kemenangan yang nyata.

Ya Allah, tanamkan cinta dan ridha di hati kami pada sahabat-sahabat Nabi-Mu. Selamatkan hati kami dari kedengkian kepada mereka. Selamatkan pula lisan kami dari cercaan kepada mereka sebagaimana Engkau telah selamatkan tangan kami dari darah-darah mereka.

Utsman bin ‘Affan, sahabat yang mulia

Beliau adalah ‘Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdisy-Syams bin Abdi Manaf. Pada kakeknya, Abdu Manaf, nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah.

Lahir enam tahun setelah tahun gajah. Beriman melalui tangan Abu Bakr Ash-Shiddiq –Abdullah bin Abi Quhafah–, dan termasuk as-sabiqunal awwalun.

Tampan wajahnya, lembut kulitnya, dan lebat jenggotnya. Sosok sahabat mulia ini sangat pemalu hingga malaikat pun malu kepadanya. Demikian Rasulullah menyanjung:

“Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?”

Mudah menangis kala mengingat akhirat. Jiwanya khusyu’ dan penuh tawadhu’ di hadapan Allah Rabbul ‘alamin.

Beliau adalah menantu Rasulullah yang sangat dikasihi. Memperoleh kemuliaan dengan menikahi dua putri Nabi, Ruqayyah kemudian Ummu Kultsum hingga mendapat julukan Dzunurain(pemilik dua cahaya). Bahkan Rasulullah bersabda: “Seandainya aku masih memiliki putri yang lain sungguh akan kunikahkan dia dengan Utsman.”

Utsman bin ‘Affan adalah figur sahabat yang memiliki kedermawanan luar biasa. Sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad, beliau telah menekuni perdagangan hingga memiliki kekayaan. Setelah cahaya Islam terpancar di muka bumi, harta tersebut beliau infakkan untuk menegakkan kalimat Allah.

Sumur Ar-Rumah

Tahukah Anda, apa itu sumur Ar-Rumah? Sumber air Madinah yang beliau beli dengan harga sangat mahal sebagai wakaf untuk muslimin di saat mereka kehausan dan membutuhkan tetes-tetes air. Rasulullah menawarkan jannah bagi siapa yang membelinya. Utsman pun bersegera meraih janji itu. Demi Allah! Beliau telah meraih jannah yang dijanjikan.

Sosok yang mulia ini, tidak pernah berat untuk berinfak di jalan Allah, berapapun besarnya harta yang diinfakkan. Beliau keluarkan seribu dinar (emas) guna menyiapkan Jaisyul ‘Usrah, pasukan perang ke Tabuk, yang berjumlah tidak kurang dari 30.000 pasukan. Seraya membolak-balikan emas yang Utsman infakkan, Rasulullah bersabda:

“Tidaklah membahayakan bagi Utsman apapun yang dia lakukan sesudah hari ini.” (Karena sesungguhnya dia telah diampuni)

Allahu Akbar! Betapa indah sabda Rasulullah mengiringi pengorbanan Utsman bin Affan. Allah l terima infak itu, Allah l pelihara dengan tangan kanan-Nya yang mulia dan Dia lipat gandakan pahala untuknya.

Di antara keutamaan ‘Utsman bin ‘Affan, Allah jamin jannah atasnya bersama sembilan orang lainnya. Rasulullah bersabda:

“… Dan ‘Utsman di jannah….” (Al-Hadits)

Sebagian kecil keutamaan di atas cukup sebagai dalil yang muhkam –pasti– atas keutamaan Utsman bin ‘Affan. Di atas keyakinan inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah beragama.

Fitnah itu akan terjadi

Wafatnya Umar bin Al-Khaththab adalah awal kemunculan fitnah. Umar adalah pintu yang menutup fitnah. Begitu pintu dipatahkan, gelombang fitnah akan terus menimpa umat ini, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Hudzaifah bin Al-Yaman dalam Shahihain.

Pernahkah terbayang bahwa Utsman akan dibunuh dalam keadaan terzalimi? Mungkin kita tidak membayangkannya. Tetapi demi Allah, Utsman bin Affan telah mengetahui dirinya akan terbunuh, dengan kabar yang diperolehnya dari kekasih Allah, Nabi Muhammad.

Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar, beliau berkata:

“Rasulullah pernah menyebutkan sebuah fitnah, lalu lewatlah seseorang. Beliau bersabda: “Pada fitnah itu, orang yang bertutup kepala ini akan terbunuh.” Berkata Ibnu ‘Umar:” Akupun melihat (orang itu), ternyata ia adalah ‘Utsman bin ‘Affan.”

Segala yang terjadi di muka bumi ini telah Allah tetapkan dan catat dalam Lauhul Mahfuzh. Sebagian dari takdir, Allah beritahukan kepada Rasul-Nya, termasuk berita terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan dalam keadaan syahid. Utsman menunggu saat-saat itu dengan penuh ridha dan keyakinan.

Rasulullah mengiringi berita tersebut dengan wasiat tentang apa yang harus dilakukan saat fitnah menerpa, sebagaimana akan kita lalui bersama sebagian riwayat tersebut. Maka berjalanlah Utsman dalam menghadapi fitnah tersebut dengan memegang teguh wasiat Rasulullah.

Abdullah bin Saba’ di balik wafatnya Utsman bin Affan


Abdullah bin Saba’ atau Ibnu As-Sauda’ adalah seorang Yahudi yang menampakkan keislaman di masa ‘Utsman bin ‘Affan. Dia muncul di tengah-tengah muslimin dengan membawa makar yang sangat membahayakan, menebar bara fitnah untuk memecah-belah barisan kaum muslimin.

Tidak mudah memang bagi Ibnu Saba’ menyalakan api di tengah kejayaan Islam, di tengah kekuasaan Islam yang telah meluas ke seluruh penjuru timur dan barat, di saat muslimin memiliki kewibawaan di mata musuh-musuhnya kala itu. Namun setan tak pernah henti mengajak manusia menuju jalan-jalan kesesatan, sebagaimana Iblis telah berkata di hadapan Allah:

Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)

Ibnu Saba’ memulai makarnya bersama para pendukungnya dengan menanamkan kebencian pada khalifah ‘Utsman bin Affan di tengah kaum yang dungu lagi bodoh. Tujuannya pasti: Memudarkan kemulian-kemuliaan ‘Utsman bin Affan di hadapan manusia dan menjatuhkan kewibawaan khalifah.

Kenapa orang-orang bodoh yang dituju? Karena mereka itulah kaum yang tidak mengerti siapa Utsman. Mereka pula kelompok yang mudah disetir hawa nafsunya. Demikianlah gaya dan model pemberontak. Sebelum menggulingkan penguasa, mereka sebarkan kejelekan di tengah orang-orang bodoh, membuat arus bawah yang sukar untuk dibendung.

Kaki Ibnu Sauda’ yang penuh kebengisan dan kedengkian pada syariat Allah menjelajah negeri. Fitnahnya dia mulai dari Hijaz; Makkah, Madinah, Thaif, lalu Bashrah, lalu Kufah. Kemudian masuklah ia ke wilayah Damaskus (Syam). Usaha demi usaha dia tempuh di sana, namun impian belum mampu ia wujudkan. Dia tidak kuasa menyalakan api kebencian terhadap khalifah ‘Utsman di tengah-tengah kaum muslimin di negeri-negeri tersebut, hingga penduduk Syam mengusirnya.

Dengan segala kebusukan, pergilah Ibnu Saba’ ke Mesir. Di sanalah dia dapatkan tempat berdiam. Di tempat baru inilah dia dapatkan lahan subur untuk membangun makar besarnya, menggulingkan khalifah Utsman dan merusak agama Islam.

Mulai Ibnu Saba’ leluasa menghubungi munafiqin dan orang-orang yang berpenyakit, hingga terkumpul massa dari penduduk Mesir dan Irak guna membantu makarnya. Bersama pembantu-pembantunya, dia sebarkan keyakinan-keyakinan menyimpang serta tuduhan-tuduhan dusta atas khalifah di tengah-tengah kaum yang bodoh lagi menyimpan kemunafikan. Hingga suatu saat nanti, terwujudlah cita-citanya: menumpahkan darah khalifah dan memecah-belah barisan muslimin.

Syubhat-syubhat Ibnu Saba’ untuk menjatuhkan kehormatan Utsman bin Affan

Mereka yang mengetahui kemuliaan Utsman dari sabda Rasulullah tidak akan terpengaruh hasutan Ibnu Saba’, sehingga tidaklah mengherankan kalau dia tidak berhasil melakukan makarnya di tengah-tengah ahli Madinah atau Makkah. Berbeda keadaannya di Mesir, ia berhasil menebar syubhat-syubhat berisi celaan kepada Utsman bin ‘Affan, yang seandainya diketahui hakikatnya justru merupakan keutamaan dan pujian atas Utsman bin Affan. Namun ketika gelombang fitnah telah menggulung dan sabda Rasulullah tidak lagi dihiraukan, banyak di antara juhhal (orang-orang bodoh) berjatuhan menjadi korban.

Pada kesempatan yang sangat terbatas ini, kita cukupkan dua syubhat beserta jawabannya sebagai gambaran atas kebodohan dan jauhnya kaum pemberontak dari ilmu.

Syubhat pertama: ‘Utsman tidak mengikuti perang Badr. Ini merupakan aib (cela) bagi Utsman, maka tidak pantas ia menjadi khalifah.

Utsman bin Affan memang tidak mengikuti perang Badr, Ramadhan 2 H. Akan tetapi tidak ikutnya beliau dalam perang Badr bukanlah aib sebagaimana sahabat-sahabat lain yang tidak mengikutinya juga tidak mendapat celaan. Karena pada perang Badr Rasulullah tidak mengharuskan sahabat untuk menyertai beliau. Terlebih lagi jika kita mengetahui sebab tidak ikutnya Utsman dalam perang Badr.

Dalam perang Badr, Rasulullah memerintahkan Utsman untuk tetap di rumah merawat istrinya, Ruqayyah, yang merupakan putri Rasulullah. Maka jawablah dengan jujur: “Pantaskah seorang yang melaksanakan perintah Rasul kemudian dicela dengan sebab itu?”

Bahkan sebaliknya, dengan melaksanakan perintah Rasul beliau mendapat keutamaan taat di samping beliau juga mendapatkan keutamaan ahlu Badr dan pahala mereka. Oleh karena itu, Rasulullah mengikutsertakan Utsman dalam ghanimah Badr.

Suatu saat, seorang Khawarij bertanya kepada Abdullah bin ‘Umar di Masjidil Haram: “Wahai Ibnu ‘Umar, apakah ‘Utsman mengikuti perang Badr?” Ibnu ‘Umar menjawab: “Tidak.” Maka dengan girangnya dia berseru: “Allahu Akbar!” –seolah-olah dia dapatkan kebenaran celaan atas Utsman bin ‘Affan–. Dengan segera Ibnu ‘Umar berkata kepadanya: “Adapun ketidakhadiran Utsman dalam perang Badr karena putri Rasulullah –istrinya– sakit, (Rasul perintahkan untuk merawatnya) dan beliau bersabda:

“Sesungguhnya bagimu pahala mereka yang mengikuti perang Badr dan bagimu pula bagian ghanimah.”

Atas dasar ini, ulama tarikh seperti Az-Zuhri, ‘Urwah bin Az-Zubair, Musa bin ‘Uqbah, Ibnu Ishaq, dan lainnya memasukkan Utsman bin Affan dalam barisan ahlu Badr (orang-orang yang mengikuti perang Badr).

Syubhat kedua: Utsman membuat ladang khusus untuk unta-unta sedekah. Ladang tersebut terlarang untuk selain unta sedekah. Kaum Khawarij menuduh perbuatan ini sebagai kezaliman, kebid’ahan, dan kedustaan atas nama Allah.

Ketika ahlu Mesir –para pemberontak– mendatangi Utsman bin Affan mereka berkata: “Bukalah surat Yunus dan bacalah.” Lalu mereka hentikan bacaan Utsman ketika sampai pada ayat:

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)

Mereka berkata: “Berhenti kamu! Lihatlah apa yang telah kau perbuat. Engkau membuat tanah terlarang yang dibatasi. Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah l? ”

Utsman menjawab: “Bukan dalam masalah tersebut ayat ini diturunkan! Sungguh Umar bin Al-Khaththab telah melakukannya sebelumku, membatasi tanah khusus untuk unta-unta zakat, lalu aku menambahnya karena unta sedekah semakin bertambah banyak.”

Bantahan Utsman ibarat batu yang dilemparkan ke dalam mulut-mulut pemberontak. Mereka tidak mampu membalas jawaban Utsman karena ternyata beliau tidak melakukan kebid’ahan. Bahkan hal itu telah dilakukan Nabi dan Umar bin Al-Khaththab sebelumnya, yang semua itu tidak lain untuk kepentingan kaum muslimin, menjaga unta-unta zakat.

Ahlu Mesir dan Irak terprovokasi untuk memberontak Khalifah


Massa yang besar dari penduduk Mesir dan Irak terkumpul, terbawa arus syubhat Ibnu Saba’. Mereka menuju Madinah dalam keadaan membenci khalifah, bahkan bertekad menggulingkan kekhilafahannya karena menurut mereka khalifah telah berkhianat.

Dalam perjalanan menuju Madinah, mereka mendengar bahwa Utsman bin ‘Affan berada di luar Madinah, maka mereka bersegera menemui ‘Utsman bin ‘Affan, di awal-awal bulan Dzulqa’dah 35 H.

Dengan penuh kearifan, keteduhan, dan kasih sayang, Utsman menemui mereka, dan terjadilah dialog ilmiah, membantah syubhat-syubhat juhhal. Dengan taufik Allah, Utsman mendinginkan hati-hati mereka yang membara. Beliau juga membuat kesepakatan-kesepakatan dan perdamaian yang menentramkan jiwa mereka. Mereka pun ridha untuk kembali ke negeri mereka.

Meninggalkan Utsman dan kisah surat palsu

Masa yang tadinya penuh kebencian, merasa puas dengan jawaban-jawaban ‘Utsman dan kesepakatan tersebut. Mereka pun pergi untuk kembali ke negeri mereka.

Kenyataan ini membuat geram para penyulut fitnah. Mereka memutar otak dan mencari-cari jalan menyalakan kembali api kebencian yang sempat padam yang sudah sangat lama mereka nanti. Dalam keadaan itu, segera mereka munculkan makar berikutnya yang demikian keji, yaitu: Surat palsu berisi kedustaan atas ‘Utsman bin Affan.

Dalam perjalanan kembali ke Mesir, mereka berpapasan dengan seorang penunggang unta. Dia menampakkan bahwa dirinya melarikan diri, seolah-olah berkata: “Tangkaplah aku.” Mereka pun menangkapnya dan bertanya: “Ada apa dengan engkau?” Dia katakan: “Aku utusan Amirul Mukminin kepada amir Mesir.” Segera mereka periksa orang ini hingga didapatkan padanya sebuah surat atas nama ‘Utsman bin Affan, berisi perintah kepada amir Mesir agar menyalib, membunuh, dan memotong-motong tangan orang-orang Mesir setibanya mereka dari Madinah.

Kembali ke Madinah melakukan pengepungan

Dengan adanya surat palsu tersebut, api kebencian kepada khalifah kembali berkobar dalam dada-dada kaum yang bodoh. Mereka kembali menuju Madinah kemudian mereka kepung kediaman khalifah Ar-Rasyid Utsman bin Affan. Mereka tidak lagi memercayai ‘Utsman meskipun telah bersumpah bahwasanya beliau tidak pernah mengetahui apalagi menulis surat tersebut.

Tahukah kita apa yang diperbuat bughat pada orang termulia di muka bumi saat itu dan ahli jannah yang masih bernafas di dunia? Mereka paksa Utsman untuk melepaskan kekhilafahannya. Terwujudlah apa yang disabdakan Rasulullah puluhan tahun silam akan datangnya masa di mana Utsman bin Affan dipaksa melepas kekhilafahan.

Dengan tanpa kasih sayang, mereka halangi Utsman untuk shalat di Masjid Nabawi padahal beliaulah yang memperluas masjid di masa Rasulullah. Mereka halangi Utsman untuk minum dari air segar sumur Ar-Rumah yang beliau wakafkan untuk kaum muslimin. Caci-maki dan cercaan tertuju kepada beliau.

Seperti inikah Islam mengajarkan untuk berbuat kepada seorang sahabat mulia, yang menghabiskan masa hidupnya untuk membela Rasulullah, meninggikan kalimat Allah? Seperti inikah balasan kepada seorang sahabat yang matanya tak pernah kering dari air mata karena takutnya kepada Allah? Seperti inikah Islam mengajarkan untuk bersikap kepada seorang yang telah senja, di umurnya yang ke-83? Itukah kasih sayang? Seperti inikah jihad? Laa haula wala quwwata illa billah! Tidak ada yang mampu kita ucapkan melainkan: Hasbunallahu wa ni’mal wakil.

Pembelaan sahabat

Sejatinya para sahabat hendak membela Utsman bin Affan. Bahkan banyak di antara mereka menemani khalifah di rumahnya hingga hari terakhir pengepungan. Riwayat-riwayat yang shahih menunjukkan kedatangan banyak sahabat mengusulkan pembelaan dari kaum bughat. Di antara mereka adalah: Haritsah bin Nu’man, Al-Mughirah bin Syu’bah, Abdullah bin Az-Zubair, Zaid bin Tsabit, Al-Hasan bin ‘Ali, Abu Hurairah, dan lainnya.

Namun Utsman bin Affan telah mengambil sebuah keputusan dan sikap yang merupakan wasiat Rasulullah untuk bersabar dan tidak melepaskan kekhilafahan. Beliau tetap kokoh memegang sunnah (wasiat) Rasulullah saat api fitnah telah berkobar di hadapannya. Abu Hurairah sempat datang dengan pedangnya untuk melakukan pembelaan. Namun Utsman berkata: “Wahai Abu Hurairah, sukakah engkau jika banyak manusia terbunuh dan aku juga terbunuh? Sungguh demi Allah, seandainya engkau membunuh seorang manusia, seakan-akan engkau membunuh manusia seluruhnya.” Pergilah Abu Hurairah melaksanakan nasihat ‘Utsman.

Dari Rasulullah, Utsman mengetahui syahadah yang akan diperolehnya. Suatu hari Rasulullah memanggil Utsman. Beliau bisikkan rahasia akan apa yang akan menimpanya dan apa yang seharusnya dilakukan saat fitnah menimpa. Rahasia itu memang tidak banyak tersingkap, melainkan beberapa yang dikabarkan Utsman bin ‘Affan di hari pengepungan.

Al-Imam Ahmad dalam Al-Musnad (6/51-52) meriwayatkan bahwa saat sahabat menawarkan Utsman bin Affan untuk memerangi pemberontak, mereka berkata: “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau perangi mereka?” Dengan penuh keyakinan beliau katakan:

“Tidak (aku tidak akan perangi mereka), karena sesungguhnya Rasulullah telah mengambil janji dariku, dan aku sabar di atas janji itu.”

Berkali-kali sahabat Rasulullah menawarkan perang melawan pemberontak. Dengan penuh kearifan Utsman menolak, dan mengingatkan mereka untuk taat kepadanya sebagai khalifah. Suatu ketaatan yang telah Allah perintahkan atas mereka.

Saudaraku, rahimakumullah. Sekali lagi kita ingatkan, bahwasanya keputusan Utsman bin ‘Affan, bukanlah kelemahan beliau. Bukan pula ketidakberanian sahabat untuk melakukan peperangan. Tetapi, semua keputusan dan sikap Utsman sesungguhnya adalah bagian dari wasiat Rasulullah kepadanya.

Mungkin ada di antara kita bertanya, kenapa Utsman tidak melepaskan kekhilafahan agar terhindar dari fitnah ini? Bukankah kaum pemberontak hanya ingin menggulingkan Utsman dari kekhilafahan?

Ketahuilah, hal ini pun telah Rasulullah n wasiatkan dalam hadits yang shahih. Rasul bersabda:

“Dan jika mereka (pemberontak) memaksamu untuk melepaskan pakaian yang Allah l pakaikan kepadamu (yakni kekhilafahan), janganlah engkau lakukan.”

Dari riwayat-riwayat shahih terkait dengan fitnah pembunuhan Utsman bin Affan, disimpulkan bahwa sikap yang beliau pilih sesungguhnya kembali pada beberapa alasan. Di antaranya:

Wasiat Rasulullah kepada ‘Utsman untuk tidak melepaskan kekhilafahan dan menghadapi fitnah dengan kesabaran.

Beliau tidak ingin menjadi orang yang pertama kali menumpahkan darah kaum muslimin, dan menjadi penyebab peperangan di antara mereka. Sebagaimana tampak dalam riwayat Ahmad dalam Al-Musnad, beliau berkata:

“Aku tidak ingin menjadi orang pertama sesudah Rasulullah yang menyebabkan pertumpahan darah di tengah umatnya.”

Utsman yakin bahwa yang diinginkan pemberontak adalah dirinya, maka beliau tidak ingin menjadikan kaum muslimin sebagai tameng. Sebaliknya, beliau ingin menjadi tameng untuk kaum muslimin agar tidak terjadi pertumpahan darah di tengah mereka.
Utsman yakin bahwa fitnah akan redam dengan wafatnya beliau, sebagaimana kabar yang Rasulullah sabdakan. Beliau juga merasa waktunya telah dekat di saat beliau berumur 83 tahun, diperkuat dengan mimpinya bertemu Rasulullah n di hari pengepungan. Nasihat Abdullah bin Salam kepada beliau. Abdullah berkata:

“Tahanlah, tahanlah (dari peperangan) karena dengan itu hujjahmu lebih mendalam.”

Syahadah yang Rasulullah kabarkan itu diraih Utsman bin Affan

Pagi, Jum’at 12 Dzulhijjah, 35 H, di saat sebagian besar sahabat menunaikan ibadah haji, pengepungan berlanjut. Hari itu ‘Utsman berpuasa, setelah di malam harinya bertemu Rasulullah, dan dua sahabatnya: Abu Bakar serta ‘Umar, dalam mimpi yang membahagiakan. Di mimpi itu Rasulullah bersabda: “Wahai ‘Utsman, berbukalah bersama kami.” Utsman pun terbangun dengan merasa bahagia dan berpuasa.

Pagi itu Utsman berada di rumah bersama sejumlah sahabat yang terus bersikukuh hendak membela beliau dari kezaliman bughat. Di antara mereka adalah Al-Hasan bin ‘Ali, ‘Abdullah bin Umar, Abdullah bin Az-Zubair, Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dan sejumlah sahabat lainnya.

Dengan sangat, Utsman bin ‘Affan meminta mereka untuk keluar dari rumah, menjauhkan diri dari fitnah. Amirul Mukminin melarang para sahabat melakukan pembelaan dengan peperangan. Beliau tidak ingin terjadi pertumpahan darah di tengah-tengah kaum muslimin hanya dengan sebab beliau. Beliau tidak ingin ada sahabat-sahabat lain terbunuh dalam fitnah ini.

Setelah permintaan Utsman yang sangat kepada para sahabat, akhirnya mereka meninggalkan rumah Amirul Mukminin hingga tidak ada yang tersisa kecuali keluarga Utsman termasuk istri beliau, Na’ilah bintu Furafishah.

Amirul Mukminin, Utsman bin ‘Affan tetap di atas wasiat Rasul untuk tidak melepaskan kekhilafahan, baju yang telah Allah pakaikan untuknya. Beliau pun tetap meminta sahabat untuk tidak melakukan perlawanan, mengingat besarnya fitnah dan khawatir darah kaum muslimin tertumpah. Inilah sikap yang terbaik: kesabaran, keyakinan, dan keteguhan di atas petunjuk Rasulullah.

Utsman, beliau duduk bersimpuh di hadapan mushaf. Beliau membacanya dalam keadaan berpuasa di hari itu. Tubuh yang telah tua, rambut yang telah memutih, kulit yang telah mengeriput, usia yang telah dihabiskan untuk Allah, berjihad menegakkan kalimat Allah di muka bumi, kini duduk mentadaburi kalam Rabbul ‘Alamin. Beliau perintahkan untuk membuka pintu rumah dengan harapan para pengepung tidak berbuat sekehendak hati mereka ketika menyaksikan beliau beribadah kepada Allah, membaca Al-Qur’an.

Tetapi mereka ternyata orang yang telah keras hatinya. Dalam suasana pengepungan dan kekacauan, masuklah seseorang hendak membunuh khalifah. Orang ini datang dan menarik jenggot Ustman. Ustman dengan tenang berkata
"Jangan sentuh jenggotku karena sesungguhnya ayahmu dulu menghormati jenggot ini." 
Kemudian pemberontak itu melepaskannya karena dia ingat bahwa bukan hanya ayahnya yang menghormati, tapi juga Rasulullah S.A.W. dan setiap orang menghormati Ustman. Utsman pun berkata mengingatkan: “Wahai fulan, di antara aku dan dirimu ada Kitabullah!” Diapun pergi meninggalkan Utsman, hingga datang orang lain dari bani Sadus. Dan ketika Ustman R.A. melihat nya datang, dia segera mengencangkan tali pengikat celananya, karena dia tidak ingin auratnya terlihat di saat-saat terakhirnya.
Dengan penuh keberingasan, dia cekik leher khalifah yang telah rapuh hingga sesak dada beliau dan terengah-engah nafas beliau, lalu dia tebaskan pedang ke arah Utsman bin ‘Affan. Amirul Mukminin menlindungi diri dari pedang dengan tangannya yang mulia, hingga terputus bercucuran darah. Saat itu Utsman berkata:

“Demi Allah, tangan (yang kau potong ini) adalah tangan pertama yang mencatat surat-surat mufashshal.”

Ya… beliau adalah pencatat wahyu Allah dari lisan Rasulullah. Namun ucapan Utsman yang sesungguhnya nasihat –bagi orang yang memiliki hati– tidak lagi dihiraukan. Darah mengalir pada mushaf tepat mengenai firman Allah:

“Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)

Kemudian istrinya, Na'ilah berlari untuk melindungi Utsman. Bukan hanya itu, jari jemari Na’ilah bintu Furafishah terpotong saat melindungi suaminya dari tebasan pedang kaum bughat. Subhanallah, cermin kesetiaan istri shalihah menghiasi tragedi berdarah di negeri Rasulullah.
Kemudian mereka menghujam dalam perut Ustman R.A. dengan pedang! Lalu salah satu pemberontak menerjang dada Ustman R.A. dan menusuknya 6 KALI! Dengan demikian wafatlah Ustman R.A. pada umur 83 tahun.
Terwujudlah sabda Rasulullah puluhan tahun silam. Ketika itu, Rasulullah bersama dengan Abu Bakr, Umar, dan Utsman di atas Uhud, tiba-tiba Uhud bergoncang. Rasul pun bersabda:

“Diamlah wahai Uhud, yang berada di atasmu adalah seorang nabi, seorang shiddiq, dan dua orang syahid.”

Allahu Akbar! Berbukalah Utsman bin Affan bersama Rasulullah sebagaimana mimpinya di malam itu. Ta’bir mimpi pun tersingkap sudah. Wafatlah khalifah Ar-Rasyid, di hari Jum’at, dalam usia 83 tahun. Pergilah manusia termulia saat itu menemui ridha Allah dan ampunan-Nya. Menuju jannah-Nya.

Seusai pembunuhan, berteriaklah laki-laki hitam pembunuh ‘Utsman, mengangkat dan membentangkan dua tangannya seraya berkata “Akulah yang membunuh Na’tsal! “
Beberapa lama setelah Utsman dibunuh, para pemberontak tidak memperbolehkan seorang pun untuk menguburkan jenazahnya. Pada akhirnya, istri Rasulullah, Umayya Habiba menaiki tangga masjid Rasulullah dan berkata
"Wahai pemberontak! Jika kalian tidak mengizinkan kami untuk mengubur Ustman R.A., maka AKU ISTRI RASULULLAH S.A.W., AKU KEHENDAK RASULULLAH S.A.W., AKU KEKASIH RASULULLAH S.A.W., AKU IBU ORANG-ORANG BERIMAN, akan turun ke jalan Madinah tanpa menutupi rambutku dan AKU SENDIRI yang akan menguburkan Ustman!"

Dia tahu bahwa tidak ada satu pemberontak pun yang berani terhadap istri Rasulullah S.A.W. Ka'ab ibn Malik R.A. meriwayatkan: 
"Demi Allah, jika Umayya ibn Habiba R.A. turun ke jalanan Madinah tanpa menutupi rambutnya, maka Allah akan MENURUNKAN HUJAN BATU DARI LANGIT!"

Dan ketika para pemberontak mendengar ancaman dari istri Rasulullah S.A.W., mereka membolehkan jenazah Ustman dikuburkan oleh empat orang: Hasan R.A., Hussain R.A., Ali R.A., dan Muhammad ibn Talha R.A. Dan ketika mereka membawa jenazah Ustman untuk dikuburkan, para pemberontak mulai melempari batu ke jenazah Ustman R.A.
Amrita bin Arta meriwayatkan
"Ketika aku dan Aisyah R.A. pulang dari berhaji, kami melihat Al-Qur'an dimana darah Ustman terjatuh ke atasnya pada ayat 'Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137).'

Akibat dari kematian Ustman begitu besar, sampai-sampai Hasan (cucu Rasulullah) meriwayatkan:
"Aku melihat kakekku (Rasulullah) di dalam mimpi, dan dia berdiri di hadapan Arsy Allah S.W.T. Dan inilah pertama kalinya aku melihatnya dalam mimpi dimana dia terlihat khawatir. Kemudian Abu Bakar R.A. datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Rasulullah S.A.W. Kemudian Umar R.A. datang dari belakangnya dan dia menempatkan tangannya di bahu Abu Bakar R.A.  Tidak lama setelahnya, Ustman R.A. datang dan wajahnya yang berlumuran darah. Tangannya menggenggam kepalanya dan dia berkata 'Wahai Rasulullah, tanyakan kepada mereka karena dosa apakah mereka menjagalku seperti seekor sapi?' Ketika Ustman R.A. berkata seperti ini, Arsy Allah mulai bergetar! Kemudian dua sungai darah mengalir dari Arsy Allah S.W.T."
Pada hari kiamat, ada banyak orang yang gugur sebagai syuhada. Untuk para syuhada itu, tanah tempatnya meninggal dunia akan bersaksi, namun untuk Ustman ibn Affan, Al-Qur'an yang akan menjadi saksinya, karena dia meninggal dunia tepat di hadapan sebuah Al-Qur'an!
Asyhadu an-La ilaha illallah, wa anna Muhammadan Rasulullah! Sabda Rasulullah bahwa Utsman akan meraih jannah dengan cobaan yang menimpanya benar-benar terjadi. Abu Musa Al-Asy’ari mengatakan bahwa:
“Rasulullah memerintahkan Abu Musa untuk memberi kabar gembira kepada Utsman dengan jannah, dengan ujian yang akan menimpanya.”

Akhir kehidupan pembunuh-pembunuh ‘Utsman bin ‘Affan R.A

Orang-orang yang memberontak Utsman R.A dan memiliki andil dalam pembunuhan khalifah yang terzalimi mendapat hukuman pedih dari Allah. Demikianlah akibat bagi mereka yang memusuhi wali-wali Allah. Benarlah firman Allah dalam sebuah hadits Qudsi:

“Barangsiapa menyakiti wali-Ku, sungguh Aku umumkan perang dengannya…”
  • Khurqush bin Zuhair As-Sa’di dibunuh oleh ‘Ali bin Abi Thalib pada perang Nahrawan tahun 39 H.
  • ‘Alba’ bin Haitsam As-Sadusi dibunuh pada perang Jamal.
  • Amr bin Al-Hamaq Al-Khuza’i hidup hingga tahun 51 H, ia ditikam.
  • ‘Umair bin Dhabi’ yang mematahkan tulang rusuk ‘Utsman z, hidup hingga zaman Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi, dia pun dibunuh. Demikian pula para pembunuh ‘Utsman z yang selain mereka.
Wallahu a’lam.

10 Keutamaan Mempunyai Sifat Pemaaf


“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kamu bersumpah, bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada
kaum kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada
jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah
kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS. an-Nur [24]: 22)
Pertama,dapat menyelesaikan perselisihan atau perseteruan. Perselisihan
atau perseteruan mungkin timbul lantaran ada pihak yang melakukan
perbuatan aniaya dan pihak lain merasa teraniaya. Jika pihak yang bersalah
tidak mau meminta maaf, dan pihak yang merasa teraniaya juga enggan
memaafkannya, maka perselisihan tersebut akan sulit diselesaikan. Tetapi
dengan adanya sifat pemaaf niscaya perselisihan dan perseteruan tersebut
dapat didamaikan.
Kedua, dapat menghilangkan rasa benci, dengki dan dendam. Benci, dengki
dan dendam mungkin timbul karena suatu perseteruan yang belum bisa
diselesaikan, lalu mendorong pihak-pihak yang berseteru untuk melakukan
balas dendam, mencederai dan menghancurkan pihak lawan. Jika masing-masing
pihak berlapangdada serta dengan tulus mau berdamai dan saling memaafkan,
insya Allah rasa benci, dendam dan dengki tersebut akan bisa dihilangkan.
Ketiga, dapat menyambung silaturrahim yang telah putus. Dua orang
bersaudara atau bertetangga, bisa jadi terganggu komunikasinya sehingga
bertahun-tahun tidak saling bertegur-sapa. Padahal, pemicunya mungkin
sepele, katakanlah gara-gara masalah anak. Namun karena keduanya merasa
berada di pihak yang benar dan tidak ada yang mau mengalah, akibatnya
silaturrahim antara keduanya menjadi terputus.
Keempat, dapat memperkokoh ukhuwah Islamiyah (persatuan dan kesatuan
umat). Di dalam kehidupan umat Islam banyak terjadi perbedaan faham dan
pendapat, baik di bidang fikih maupun bidang-bidang lainnya.
Perbedaan-perbedaan tersebut kadang sampai menimbulkan konflik dan
benturan yang cukup keras. Maka, bila setiap Muslim bersikap pemaaf
terhadap saudaranya, berlapang dada dan saling menghormati pendapat yang
berbeda tersebut, insya Allah persatuan dan kesatuan umat akan bisa
diperkokoh.
Kelima, pemaaf itu dapat menghilangkan rasa permusuhan dan memperbanyak
teman. Islam melarang permusuhan antarsesama. Sebaliknya, Islam sangat
menganjurkan membangun persahabatan sebanyak mungkin. Untuk itulah Islam
menganjurkan sifat pemaaf dan ketulusan hati kepada para pemeluknya,
karena sifat pemaaf yang tulus itu akan menghilangkan sifat benci dan
dendam, menghilangkan rasa permusuhan dan
mempersubur persahabatan.
Keenam, melahirkan sifat tawadu’, menghilangkan sifat sombong dan angkuh.
Sifat sombong dan angkuh dapat timbul pada diri seseorang, karena ia
merasa lebih dari yang lain, paling baik, paling benar dan paling mampu
dalam segala hal. Sifat-sifat ini sering membuat orang enggan meminta
maaf, karena ia merasa tidak pernah bersalah, sehingga ia gengsi untuk
meminta maaf, bahkan meminta maaf dianggapnya identik dengan kerendahan
diri.
Ketujuh, dapat menghapus dosa dan memudahkan jalan ke surga. Allah tidak
akan mengampuni dosa seseorang dan tidak akan memasukkannya ke surga
sebelum orang tersebut terlebih dulu menyelesaikan urusannya di dunia,
sangkut pautnya dengan orang lain sehingga mereka berdamai dan saling
memaafkan.
Kedelapan, menjadikan hati tenang-tenteram. Dosa adalah sesuatu yang
membuat pelakunya gelisah, tidak tenang. Apalagi kalau dia telah menyadari
betul bahwa perbuatannya itu tidak benar, maka bisa dipastikan, maka
hidupnya tidak akan pernah merasa tenang, setiap hari dihantui oleh rasa
bersalah atau berdosa. Jika dia telah meminta maaf, dan kesalahannya
dimaafkan oleh orang lain, barulah hatinya akan tenang.
Kesembilan, sifat pemaaf itu akan melahirkan pemaaf juga. Ada orang yang
ingin semua kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, sementara dia sendiri
enggan memaafkan kesalahan orang lain. Tentu orang lain akan sulit
menerima hal itu. Jika kesalahan kita ingin dimaafkan oleh orang lain,
maka terlebih dahulu maafkanlah kesalahan-kesalahan orang lain, niscaya
orang lain akan memaafkan kesalahan kita.
Kesepuluh, sifat pemaaf itu merupakan bagian dari strategi dakwah yang
jitu. Kaum kafir Quraisy demikian dahsyat memusuhi Nabi Muhammad dan umat
Islam. Umat Islam di masa itu, selalu diganggu, disiksa bahkan dibunuh.
Tetapi, ketika kaum Muslimin berhasil menguasai Makkah dan Jazirah Arab,
Nabi Muhammad SAW segera memaklumkan amnesty umum, memaafkan semua
kesalahan semua orang kafir Quraisy. Tindakan Nabi itu, ternyata membuat
mereka tersentuh dan terharu, sehingga kemudian mereka berbondong-bondong
masuk Islam.
Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
QS. Al-A’raf 7:199
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.
QS. Al-Fushilat 41:35
- See more at: http://forum.muslim-menjawab.com/2011/08/02/keutamaan-sifat-pemaaf-ada-10-perkara/#sthash.9e49x6RB.dpuf
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kamu bersumpah, bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada
kaum kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada
jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah
kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS. an-Nur [24]: 22)

Pertama,dapat menyelesaikan perselisihan atau perseteruan. Perselisihan
atau perseteruan mungkin timbul lantaran ada pihak yang melakukan
perbuatan aniaya dan pihak lain merasa teraniaya. Jika pihak yang bersalah
tidak mau meminta maaf, dan pihak yang merasa teraniaya juga enggan
memaafkannya, maka perselisihan tersebut akan sulit diselesaikan. Tetapi
dengan adanya sifat pemaaf niscaya perselisihan dan perseteruan tersebut
dapat didamaikan.
Kedua, dapat menghilangkan rasa benci, dengki dan dendam. Benci, dengki
dan dendam mungkin timbul karena suatu perseteruan yang belum bisa
diselesaikan, lalu mendorong pihak-pihak yang berseteru untuk melakukan
balas dendam, mencederai dan menghancurkan pihak lawan. Jika masing-masing
pihak berlapangdada serta dengan tulus mau berdamai dan saling memaafkan,
insya Allah rasa benci, dendam dan dengki tersebut akan bisa dihilangkan.
Ketiga, dapat menyambung silaturrahim yang telah putus. Dua orang
bersaudara atau bertetangga, bisa jadi terganggu komunikasinya sehingga
bertahun-tahun tidak saling bertegur-sapa. Padahal, pemicunya mungkin
sepele, katakanlah gara-gara masalah anak. Namun karena keduanya merasa
berada di pihak yang benar dan tidak ada yang mau mengalah, akibatnya
silaturrahim antara keduanya menjadi terputus.
Keempat, dapat memperkokoh ukhuwah Islamiyah (persatuan dan kesatuan
umat). Di dalam kehidupan umat Islam banyak terjadi perbedaan faham dan
pendapat, baik di bidang fikih maupun bidang-bidang lainnya.
Perbedaan-perbedaan tersebut kadang sampai menimbulkan konflik dan
benturan yang cukup keras. Maka, bila setiap Muslim bersikap pemaaf
terhadap saudaranya, berlapang dada dan saling menghormati pendapat yang
berbeda tersebut, insya Allah persatuan dan kesatuan umat akan bisa
diperkokoh.
Kelima, pemaaf itu dapat menghilangkan rasa permusuhan dan memperbanyak
teman. Islam melarang permusuhan antarsesama. Sebaliknya, Islam sangat
menganjurkan membangun persahabatan sebanyak mungkin. Untuk itulah Islam
menganjurkan sifat pemaaf dan ketulusan hati kepada para pemeluknya,
karena sifat pemaaf yang tulus itu akan menghilangkan sifat benci dan
dendam, menghilangkan rasa permusuhan dan
mempersubur persahabatan.
Keenam, melahirkan sifat tawadu’, menghilangkan sifat sombong dan angkuh.
Sifat sombong dan angkuh dapat timbul pada diri seseorang, karena ia
merasa lebih dari yang lain, paling baik, paling benar dan paling mampu
dalam segala hal. Sifat-sifat ini sering membuat orang enggan meminta
maaf, karena ia merasa tidak pernah bersalah, sehingga ia gengsi untuk
meminta maaf, bahkan meminta maaf dianggapnya identik dengan kerendahan
diri.
Ketujuh, dapat menghapus dosa dan memudahkan jalan ke surga. Allah tidak
akan mengampuni dosa seseorang dan tidak akan memasukkannya ke surga
sebelum orang tersebut terlebih dulu menyelesaikan urusannya di dunia,
sangkut pautnya dengan orang lain sehingga mereka berdamai dan saling
memaafkan.
Kedelapan, menjadikan hati tenang-tenteram. Dosa adalah sesuatu yang
membuat pelakunya gelisah, tidak tenang. Apalagi kalau dia telah menyadari
betul bahwa perbuatannya itu tidak benar, maka bisa dipastikan, maka
hidupnya tidak akan pernah merasa tenang, setiap hari dihantui oleh rasa
bersalah atau berdosa. Jika dia telah meminta maaf, dan kesalahannya
dimaafkan oleh orang lain, barulah hatinya akan tenang.
Kesembilan, sifat pemaaf itu akan melahirkan pemaaf juga. Ada orang yang
ingin semua kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, sementara dia sendiri
enggan memaafkan kesalahan orang lain. Tentu orang lain akan sulit
menerima hal itu. Jika kesalahan kita ingin dimaafkan oleh orang lain,
maka terlebih dahulu maafkanlah kesalahan-kesalahan orang lain, niscaya
orang lain akan memaafkan kesalahan kita.
Kesepuluh, sifat pemaaf itu merupakan bagian dari strategi dakwah yang
jitu. Kaum kafir Quraisy demikian dahsyat memusuhi Nabi Muhammad dan umat
Islam. Umat Islam di masa itu, selalu diganggu, disiksa bahkan dibunuh.
Tetapi, ketika kaum Muslimin berhasil menguasai Makkah dan Jazirah Arab,
Nabi Muhammad SAW segera memaklumkan amnesty umum, memaafkan semua
kesalahan semua orang kafir Quraisy. Tindakan Nabi itu, ternyata membuat
mereka tersentuh dan terharu, sehingga kemudian mereka berbondong-bondong
masuk Islam.
Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
QS. Al-A’raf 7:199
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.
QS. Al-Fushilat 41:35
- See more at: http://forum.muslim-menjawab.com/2011/08/02/keutamaan-sifat-pemaaf-ada-10-perkara/#sthash.9e49x6RB.dpuf
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di
antara kamu bersumpah, bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada
kaum kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada
jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah
kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” (QS. an-Nur [24]: 22)

Pertama,dapat menyelesaikan perselisihan atau perseteruan. Perselisihan
atau perseteruan mungkin timbul lantaran ada pihak yang melakukan
perbuatan aniaya dan pihak lain merasa teraniaya. Jika pihak yang bersalah
tidak mau meminta maaf, dan pihak yang merasa teraniaya juga enggan
memaafkannya, maka perselisihan tersebut akan sulit diselesaikan. Tetapi
dengan adanya sifat pemaaf niscaya perselisihan dan perseteruan tersebut
dapat didamaikan.
Kedua, dapat menghilangkan rasa benci, dengki dan dendam. Benci, dengki
dan dendam mungkin timbul karena suatu perseteruan yang belum bisa
diselesaikan, lalu mendorong pihak-pihak yang berseteru untuk melakukan
balas dendam, mencederai dan menghancurkan pihak lawan. Jika masing-masing
pihak berlapangdada serta dengan tulus mau berdamai dan saling memaafkan,
insya Allah rasa benci, dendam dan dengki tersebut akan bisa dihilangkan.
Ketiga, dapat menyambung silaturrahim yang telah putus. Dua orang
bersaudara atau bertetangga, bisa jadi terganggu komunikasinya sehingga
bertahun-tahun tidak saling bertegur-sapa. Padahal, pemicunya mungkin
sepele, katakanlah gara-gara masalah anak. Namun karena keduanya merasa
berada di pihak yang benar dan tidak ada yang mau mengalah, akibatnya
silaturrahim antara keduanya menjadi terputus.
Keempat, dapat memperkokoh ukhuwah Islamiyah (persatuan dan kesatuan
umat). Di dalam kehidupan umat Islam banyak terjadi perbedaan faham dan
pendapat, baik di bidang fikih maupun bidang-bidang lainnya.
Perbedaan-perbedaan tersebut kadang sampai menimbulkan konflik dan
benturan yang cukup keras. Maka, bila setiap Muslim bersikap pemaaf
terhadap saudaranya, berlapang dada dan saling menghormati pendapat yang
berbeda tersebut, insya Allah persatuan dan kesatuan umat akan bisa
diperkokoh.
Kelima, pemaaf itu dapat menghilangkan rasa permusuhan dan memperbanyak
teman. Islam melarang permusuhan antarsesama. Sebaliknya, Islam sangat
menganjurkan membangun persahabatan sebanyak mungkin. Untuk itulah Islam
menganjurkan sifat pemaaf dan ketulusan hati kepada para pemeluknya,
karena sifat pemaaf yang tulus itu akan menghilangkan sifat benci dan
dendam, menghilangkan rasa permusuhan dan
mempersubur persahabatan.
Keenam, melahirkan sifat tawadu’, menghilangkan sifat sombong dan angkuh.
Sifat sombong dan angkuh dapat timbul pada diri seseorang, karena ia
merasa lebih dari yang lain, paling baik, paling benar dan paling mampu
dalam segala hal. Sifat-sifat ini sering membuat orang enggan meminta
maaf, karena ia merasa tidak pernah bersalah, sehingga ia gengsi untuk
meminta maaf, bahkan meminta maaf dianggapnya identik dengan kerendahan
diri.
Ketujuh, dapat menghapus dosa dan memudahkan jalan ke surga. Allah tidak
akan mengampuni dosa seseorang dan tidak akan memasukkannya ke surga
sebelum orang tersebut terlebih dulu menyelesaikan urusannya di dunia,
sangkut pautnya dengan orang lain sehingga mereka berdamai dan saling
memaafkan.
Kedelapan, menjadikan hati tenang-tenteram. Dosa adalah sesuatu yang
membuat pelakunya gelisah, tidak tenang. Apalagi kalau dia telah menyadari
betul bahwa perbuatannya itu tidak benar, maka bisa dipastikan, maka
hidupnya tidak akan pernah merasa tenang, setiap hari dihantui oleh rasa
bersalah atau berdosa. Jika dia telah meminta maaf, dan kesalahannya
dimaafkan oleh orang lain, barulah hatinya akan tenang.
Kesembilan, sifat pemaaf itu akan melahirkan pemaaf juga. Ada orang yang
ingin semua kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, sementara dia sendiri
enggan memaafkan kesalahan orang lain. Tentu orang lain akan sulit
menerima hal itu. Jika kesalahan kita ingin dimaafkan oleh orang lain,
maka terlebih dahulu maafkanlah kesalahan-kesalahan orang lain, niscaya
orang lain akan memaafkan kesalahan kita.
Kesepuluh, sifat pemaaf itu merupakan bagian dari strategi dakwah yang
jitu. Kaum kafir Quraisy demikian dahsyat memusuhi Nabi Muhammad dan umat
Islam. Umat Islam di masa itu, selalu diganggu, disiksa bahkan dibunuh.
Tetapi, ketika kaum Muslimin berhasil menguasai Makkah dan Jazirah Arab,
Nabi Muhammad SAW segera memaklumkan amnesty umum, memaafkan semua
kesalahan semua orang kafir Quraisy. Tindakan Nabi itu, ternyata membuat
mereka tersentuh dan terharu, sehingga kemudian mereka berbondong-bondong
masuk Islam.
Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
QS. Al-A’raf 7:199
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.
QS. Al-Fushilat 41:35
- See more at: http://forum.muslim-menjawab.com/2011/08/02/keutamaan-sifat-pemaaf-ada-10-perkara/#sthash.9e49x6RB.dpuf

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah, bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. an-Nur [24]: 22)

Pertama,dapat menyelesaikan perselisihan atau perseteruan. Perselisihan atau perseteruan mungkin timbul lantaran ada pihak yang melakukan perbuatan aniaya dan pihak lain merasa teraniaya. Jika pihak yang bersalah tidak mau meminta maaf, dan pihak yang merasa teraniaya juga enggan memaafkannya, maka perselisihan tersebut akan sulit diselesaikan. Tetapi dengan adanya sifat pemaaf niscaya perselisihan dan perseteruan tersebut dapat didamaikan.
Kedua, dapat menghilangkan rasa benci, dengki dan dendam. Benci, dengki, dan dendam mungkin timbul karena suatu perseteruan yang belum bisa diselesaikan, lalu mendorong pihak-pihak yang berseteru untuk melakukan balas dendam, mencederai dan menghancurkan pihak lawan. Jika masing-masing pihak berlapangdada serta dengan tulus mau berdamai dan saling memaafkan, insya Allah rasa benci, dendam dan dengki tersebut akan bisa dihilangkan.
Contohnya seperti ini:
Bayangkan di rumah, ada anggota keluarga yang kita benci. Sekarang bayangkan kita dalam perjalanan pulang ke rumah.
Ketika sudah di dekat rumah, kita melihat sebuah ambulan terparkir di depan rumah dan para tetangga juga sudah berkumpul. Tentu hal ini membuat kita khawatir dan bertanya-tanya tentang ada apa sebenarnya.
Kemudian kita melihat beberapa petugas dari rumah sakit  membawa stretcher (tandu) keluar dari rumah, kita menghampirinya dan ternyata orang yang kita benci di dalam keluarga-lah yang ditandu keluar dengan stretcher itu. Ternyata orang itu telah meninggal.
Kebencian kita kepada orang itu tentu juga telah hilang. Bayangkan jika orang itu adalah ibu atau saudara kita sendiri, sedangkan kita tidak pernah berkesempatan untuk berbicara dengannya tentang masalah kita, tak pernah punya kesempatan untuk mendapatkan maaf dari mereka, atau memaafkan mereka. Apakah sekarang kita merasa senang? Tentu tidak...
Beberapa orang berpikir bahwa jika mereka menunggu sampai hari kiamat, dimana setiap manusia dapat mengadukan perkaranya dan mendapatkan haknya dengan adil, maka dia akan dapat lebih. Tapi sesungguhnya tidak begitu. Jika kita dapat mengampuni mereka saat berada di dunia, maka kita akan mendapatkan pahala lebih banyak daripada menunggu hingga hari kiamat. Hal ini sudah dijelaskan dalam hadist.
Jika kita menunggu hingga hari kiamat, memang kita dapat menyelesaikan masalah kita dengan orang itu, dan Allah akan memberikan kita sebagian pahala darinya, tapi pahala terbesar yang dapat kita raih adalah dengan memaafkan mereka ketika masih di dunia ini.

Ketiga, dapat menyambung silaturrahim yang telah putus. Dua orang bersaudara atau bertetangga, bisa jadi terganggu komunikasinya sehingga bertahun-tahun tidak saling bertegur-sapa. Padahal pemicunya mungkin sepele, katakanlah gara-gara masalah anak. Namun karena keduanya merasa berada di pihak yang benar dan tidak ada yang mau mengalah, akibatnya silaturrahim antara keduanya menjadi terputus.

Keempat, dapat memperkokoh ukhuwah Islamiyah (persatuan dan kesatuan umat). Di dalam kehidupan umat Islam banyak terjadi perbedaan paham dan pendapat, baik di bidang fiqih maupun bidang-bidang lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut kadang sampai menimbulkan konflik dan benturan yang cukup keras. Maka, bila setiap Muslim bersikap pemaaf terhadap saudaranya, berlapang dada dan saling menghormati pendapat yang berbeda tersebut, insya Allah persatuan dan kesatuan umat akan bisandiperkokoh.

Kelima, pemaaf itu dapat menghilangkan rasa permusuhan dan memperbanyak teman. Islam melarang permusuhan antarsesama. Sebaliknya, Islam sangat menganjurkan membangun persahabatan sebanyak mungkin. Untuk itulah Islam menganjurkan sifat pemaaf dan ketulusan hati kepada para pemeluknya, karena sifat pemaaf yang tulus itu akan menghilangkan sifat benci dan dendam, menghilangkan rasa permusuhan dan mempersubur persahabatan.

Keenam, melahirkan sifat tawadu’, menghilangkan sifat sombong dan angkuh. Sifat sombong dan angkuh dapat timbul pada diri seseorang, karena ia merasa lebih dari yang lain, paling baik, paling benar dan paling mampu dalam segala hal. Sifat-sifat ini sering membuat orang enggan meminta maaf, karena ia merasa tidak pernah bersalah, sehingga ia gengsi untuk meminta maaf, bahkan meminta maaf dianggapnya identik dengan kerendahan diri.

Ketujuh, dapat menghapus dosa dan memudahkan jalan ke surga. Allah tidak akan mengampuni dosa seseorang dan tidak akan memasukkannya ke surga sebelum orang tersebut terlebih dulu menyelesaikan urusannya di dunia, sangkut pautnya dengan orang lain sehingga mereka berdamai dan saling memaafkan.

Kedelapan, menjadikan hati tenang-tenteram. Dosa adalah sesuatu yang membuat pelakunya gelisah, tidak tenang. Apalagi kalau dia telah menyadari betul bahwa perbuatannya itu tidak benar, maka bisa dipastikan, maka hidupnya tidak akan pernah merasa tenang, setiap hari dihantui oleh rasa bersalah atau berdosa. Jika dia telah meminta maaf, dan kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, barulah hatinya akan tenang.

Kesembilan, sifat pemaaf itu akan melahirkan pemaaf juga. Ada orang yang ingin semua kesalahannya dimaafkan oleh orang lain, sementara dia sendiri enggan memaafkan kesalahan orang lain. Tentu orang lain akan sulit menerima hal itu. Jika kesalahan kita ingin dimaafkan oleh orang lain, maka terlebih dahulu maafkanlah kesalahan-kesalahan orang lain, niscaya orang lain akan memaafkan kesalahan kita.

Kesepuluh, sifat pemaaf itu merupakan bagian dari strategi dakwah yang jitu. Kaum kafir Quraisy demikian dahsyat memusuhi Nabi Muhammad dan umat Islam. Umat Islam di masa itu, selalu diganggu, disiksa bahkan dibunuh.


Tetapi, ketika kaum Muslimin berhasil menguasai Makkah dan Jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW segera melakukan perjanjian damai, memaafkan semua kesalahan semua orang kafir Quraisy. Tindakan Nabi itu, ternyata membuat mereka tersentuh dan terharu, sehingga kemudian mereka berbondong-bondong masuk Islam. 
Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf 7:199)

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. 

 (QS. Al-Fushilat 41:35)

Copyright @ 2013 Islam is beautiful .