Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
ber-agama Islam.” (Ali Imran [3]: 102)
Karena
takwa merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang muslim, sifat
takwa akan membangun gaya hidup unik yang senantiasa mendorong seorang
muslim untuk melakukan kebaikan dan ketaatan, sekaligus menghalaunya
dari perbuatan buruk dan maksiat, dengan motivasi mendapatkan pahala
dari Allah dan takut tertimpa azab-Nya.
Seperti
yang telah dikatakan oleh Ibnu Abas r.a bahwa orang-orang yang bertakwa
adalah yang takut kepada Allah dan siksa-Nya. Ibnu Mas’ud r.a
mengatakan takwa kepada Allah adalah perintah-Nya ditaati dan tidak
dilanggar, selalu ingat pada-Nya dan tidak dilupakan, dan nikmatnya
disyukuri dan tidak diingkari (kufur). Sedangkan Thalq bin Habib
rahimahullah mengatakan, takwa adalah berbuat dalam kerangka taat kepada
Allah dengan cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala Allah. Begitu
pula meninggalkan maksiat kepada Allah dengan cahaya dari Allah dan
takut terhadap azab Allah.
Dengan
pengertian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa takwa tidak hanya
berupa sifat yang melekat secara tiba-tiba dalam kepribadian seorang
muslim, tetapi sifat takwa harus diusahakan melalui perbuatan dengan
cara melakukan segala apa yang telah Allah perintahkan berbentuk ibadah
dan menjauhkan segala yang telah dilarang oleh Allah semata-mata
karena-Nya.
Tidak
salah jika setiap hari jumat khotib selalu menasehati kita, agar kita
selalu bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, takwa yang
diharapkan oleh para khotib tidak hanya takwa bersifat simbolik (tanda)
secara lahiriyah saja, atau takwa formalistik tanpa memahami hakekat
kesungguhan ibadah, tetapi yang diinginkan oleh para khotib dalam setiap
jumat adalah takwa hakiki yang memiliki dampak secara spiritual baik
kedekatanya dengan Allah, perhatiannya terhadap orang lain, perhatianya
terhadap lingkungan di sekitarnya dan perhatiannya terhadap dirinya
sendiri.
Syahrin
Harahap dalam bukunya yang berjudul “Islam Dinamis”, membagi tiga
pemahaman tentang takwa yang berkembang di masyarakat, pemahaman
pertama, pemahaman simbolik.di sini seseorang memahami taqwa
tidak langsung merujuk pada kitab suci Al-Qur’an, melainkan lebih banyak
mengacu pada referensi tradisi. Dalam pemahaman ini manusia bertaqwa
dirumuskan sebagai seorang yang mengenakan “simbol-simbol kesalehan”,
khususnya dalam pandangan awam. Misalnya, mengenakan serban, tasbih di
tangan, berjubah dan lain sebagainya.
Pemahaman kedua, pemahaman normative simplistik,
suatu pemahaman yang merujuk kepada Al-Qur’an, namun secara amat
dangkal. Dalam pemahaman ini orang bertaqwa dirumuskan kira-kira begini:
“orang yang beriman pada yang ghaib dan melakukan shalat, menafkahkan
rizeki dan beriman kepada Al-Qur’an, separti dalam firman Allah di surah
Al-Baqarah ayat: 1-5:
Artinya:
“Alif-Laam-Miim.
Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rizeki yang kami anugerahkan kepada
mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah
diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,
serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang
tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang
yang beruntung” (Al-Baqarah: 1-5).
Pemahaman
kedua ini terkesan memformulasikan manusia taqwa itu sebagai kuat
beragama (beribadah) secara formal, namun tingkat partisipasinya dalam
kegiatan sosial ekonomi, pengembangan budaya dan ilmu pengetahuan, serta
perencanaan masa depan, nyaris tak terlihat. Sehingga konsep kedua ini
terkesan kurang ramah dan tidak merangsang.
Pemahaman ketiga, pemahaman rasional sintetik,
pemahaman yang didasarkan pada petunjuk kitab suci Al-Qur’an, mengambil
referensi tradisi dan merumuskannya memakai idiom-idiom modern. Di sini
manusia taqwa dirumuskan kira-kira begini : “orang bertaqwa adalah
orang beriman yang: (1) dapat menjalankan fungsi-fungsi kekhalifaannya,
(2) orang bertaqwa senantiasa menegakkan shalat sebagai realisasi dari
pengakuannya terhadap Allah. (3) memiliki iman yang fungsional, iman
yang dibuktikan dengan aktivitas dan amal shaleh. (4). Mempunyai visi
yang jelas untuk masa depan, dan lain sebagainya.
Kiranya
pemahaman taqwa ke tiga yang ingin para khotib tanamkan kepada jemaah
jumat dicintai Allah, bukan taqwa yang bersifat simbolik (tanda),
apalagi simbolnya hanya simbol budaya seperti telah disebutkan di atas,
juga bukan taqwa bersifat formal seremoneal (sekedar rutinitas
sehari-hari), tetapi taqwa hakiki yang memiliki efek spiritual hubungan
antara manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan social (sesame
manusia), hubungan dengan lingkungan dan hubungan dengan dirinya
sendiri.
Permasalahanya
sekarang adalah, bagaimana kita mencapai takwa hakiki tersebut? Tadi
telah kita bahas bahwa takwa tidak datang secara tiba-tiban dalam
kpribadian seorang muslim, tetapi takwa tersebut harus dilatih,
diusahakan dengan sekuat tenaga untuk mencapainya dengan cara melakukan
ibadah yang telah Allah perintahkan secara ikhlas dan sesuai dengan
tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah, juga menjauhkan segala
larangan Allah dengan sungguh-sungguh. Singkatnya untuk mencapai takwa
yang hakiki harus melakukan segala ibadah yang diperintah Allah dengan
hakiki dan menjauhi segala larangan yang dilarang oleh Allah dengan
hakiki pula.
Ibnu Kasir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ibadah yang diterima oleh Allah harus memenuhi dua syarat: pertama, ikhlas karena Allah, kedua,
sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Dengan demikian, jika amal itu
sesuai dengan syariah nabi saw, tetapi ketika melakukannya tidak ikhlas,
tertolak dan tidak diterima oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah yang menerangkan keadaan orang munafik:
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Alla, dan Allah akan membalas tipuan
mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan
malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan
tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali” (An-Nisaa’: 142)
Begitu
pula, jika amal itu dilakukan secara ikhlas, tetapi tidak sesuai dengan
tuntunan Rasulullah saw., maka tidak diterima, sebagaimana sabda
Rasulullah saw:
Artinya:
“Barang siapa yang beramal tidak menurut tuntunan kami, maka amal itu ditolak.” (HR. Muslim).
Oleh
karena itu, perbuatan para pendeta dan yang seperti mereka, meskipun
benar-benar ikhlas, tidak diterima, karena mereka tidak mengikuti
tuntunan Rasulullah saw. Yang diutus kepada semua manusia , sebagai
firman Allah:
Artinya:
“Dan
kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan , lalu kami jadilkan amal
itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (Al-Furqan: 23).
Dan Firmanya :
Artinya:
“Dan
orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah
yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga; tetapi bila
di datanginya, dia tidak mendapatkannya sesuatu apa pun.” (An-Nuur: 39)
Dengan
begitu amal ibadah akan diterima oleh Allah jika ibadah yang kita
lakukan sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw.
Untuk mengetahui hal tersebut kita harus memiliki ilmu pengetahuan
tentang agama Islam khususnya ilmu pengetahuan tentang syariah (fiqih)
agar ibadah yang dilakukan oleh kita diridhai dan diterima oleh Allah.
Allah berfirman:
Artinya:
“Dan Katakanlah, “Ya Tuhanku, Tambahkanlah kepadaku Ilmu Pengetahuan.” (Thahaa: 114).
Al-Hafifizh
Ibnu Hajar berkata: “Ayat ini amat jelas menerangkan tentang keutamaan
ilmu pengetahuan. Karena Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk
meminta tambahan sesuatu kecuali meminta tambahan ilmu pengetahuan. Nabi
saw. Menamakan majelis yang di dalamnya terdapat orang mempelajari ilmu
yang bermamfaat dengan istilah “taman surga”. Juga memberitahukan bahwa
para ulama pewaris para nabi.
Tentunya,
seorang sebelum melakukan suatu perbuatan, ia harus mengetahui cara
mengerjakannya perbuatan itu dengan benar. Sehingga, perbuatannya itu
menjadi benar dan memberikan hasil yang seperti diharapkan. Maka,
bagaimana seseorang melakukan ibadah kepada rabbnya yang dengan
ibadahnya itu ia mengharapkan selamat dari neraka dan masuk surga, tapi
ia tak mengetahui ilmu tentang ibadahnya itu.
Oleh karena itu, dalam hubungannya antara ilmu pengetahuan dan ibadah manusia terbagi tiga:
Pertama,
mereka yang menyatukan antara ilmu yang bermamfaat dengan amal saleh.
Mereka itu telah diberikan hidayat oleh Allah kepada jalan orang-orang
yang diberikan nikmat yaitu para nabi, siddiqien, syuhada, dan shalihin.
Kedua,
mereka yang mempelajari ilmu yang bermamfaat tetapi tak beramal
denganya. Mereka itu adalah orang–orang yang mendapatkan murka dari
Allah, yaitu orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka.
Ketiga,
orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Mereka itu adalah orang-orang yang
tersesat dari kalangan nasrani dan orang-orang yang mengikuti mereka.
Ketiga kelompok ini dirangkum oleh firman Allah dalam surah al-Fatihah yang kita baca dalam dalam setiap rakaat shalat kita:
Artinya:
“Tunjukila
kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau beri
nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 6)
Marik
kita reviu (mengulang) untuk membaca dan memperdalami kembali ilmu-ilmu
agama Islam kita khususnya ilmu fiqih agar kita tidak termasuk orang
yang maghdub dan dhalin dan agar amal kita diterima disisi Allah, mari
kita ferifikasi (mempertayakan) kebenaran ilmu agama Islam khususnya
ilmu fiqihkita apakah yang telah kita ketahui bebetul–betul benar agar
amal yang kitalakukan tidak siasi. Dengan begitu mari kita belajar
bersama-sama untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam bik melalui lembaga
yang formal atau melalui lembaga non formal, seperti pengajian, tanya
jawab, dialog non formal dan lain sebagainya. Mari kita ber doa semuga
kita diberikan jalan oleh Allah untuk belajar ilmu-ilmu agama Islam dan
semoga amal kita selalu diterima oleh Allah amin.
0 komentar:
Posting Komentar