8. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka
manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Kebahagiaan hidup menurut istilah Prof Dr. Yusuf al-Qardhawi disebut “Jannatu l-ahlam
“, surga impian. Yang dimaksud adalah semua orang memimpikan memperoleh
kebahagiaan hidup tanpa memandang status sosial atau tingkat
pendidikan. Seorang raja yang berada di istana juga masih menginginkan
kebahagiaan hidup, sebagaimana halnya buruh, pekerja kasar dan petani
menginginkan kebahagiaan hidup. Orang-orang jenius, pakar ilmu dan juga
orang yang tidak menikmati pendidikan pun juga menghendaki kebahagiaan
hidup yang sama. Yang menjadi masalah dan perlu dikaji adalah dimana
sesungguhnya letak kebahagiaan itu ? Semua orang mencari, tetapi
sebagian besar sulit untuk menemukan kebahagiaan itu sendiri.
Terjadi dialog antara Fir’aun dengan istrinya dengan nada mengancam.
“Saya akan mencelakakan dan menyengsarakan kamu “. Asiyah menjawab, “
Engkau tidak punya kekuasaan apapun untuk melaksanakan hal itu seperti
halnya engkau tidak dapat berbuat apa-apa untuk membahagiakan saya”.
Kata Fir’aun selanjutnya, “Apa betul kamu menganggap saya tidak bisa
memberikan kebahagiaan dan kesengsaraan kepadamu ?”. Asiyah menjawab,
“Betul”. Kalau menurutmu kebahagiaan seseorang terletak pada kecukupan
belanja hidup, memang kamu bisa menghilangkan hal itu dari saya. Kalau
kebahagiaan itu ditemukan pada perhiasan yang indah-indah, kamu mungkin
bisa mengurangi atau bahkan mencabut perhiasan itu dari saya. Kalau
kebahagiaan itu kamu pandang berupa gedung-gedung yang indah dengan
peralatan yang serba mahal, mungkin juga semua itu bisa kamu lakukan.
Akan tetapi, semua itu tidak menjadi penentu kebahagiaan”. Fir’aun diam
seribu basa mendengar ucapan istrinya. Asiyah berkata: Dengan segala
kekuasaan dan kekayaan yang ada di tanganmu, apakah kamu pernah
merasakan kebahagiaan ? Sebaliknya, engkau selalu merasa gelisah dan
curiga kepada orang lain”. Fir’aun dengan cepat menukasnya, lalu
menurutmu di mana letak kebahagiaan itu ? Di sini ada jawaban yang
sangat filosofis dari Asiyah, “Saya temukan kebahagiaan itu di dalam
hatiku”. Dan hatiku bisa memperoleh kebahagiaan itu setelah ada iman
bertempat di dalamnya.
Ungkapan-ungkapan tersebut memang terus dipertanyakan orang, dimana
letak kebahagiaan itu berada?. Kenikmatan materi tidak bisa memberikan
jaminan untuk mewujudkan kebahagiaan bagi orang-orang yang telah
menikmati dan memilikinya. Survey yang dilakukan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa sebetulnya warga negara yang pantas
untuk menikmati kebahagiaan karena tercukupinya materi itu ada tiga
negara. Pertama, warga negara Swedia
karena hampir semua biaya kebutuhan sosial penduduknya dicukupi oleh
negara. Di negara ini tidak ada orang yang tidak punya pendapatan,
termasuk para penganggur, sebab mereka mendapat jaminan sosial dari
negara. Tapi survey ini membuktikan, semakin banyak kenikmatan materi
yang dinikmati justru kegelisahan hati penduduk Swedia bertambah besar.
Dari fakta yang terkumpul, jumlah orang yang bunuh diri
rata-rata pertahun meningkat. Padahal bunuh diri, stres berat, dan
sakit jiwa merupakan indikator atau bukti-bukti adanya ketidakbahagiaan
seseorang.
Negara kedua yang disurvey adalah Amerika serikat.
Amerika dianggap negara yang paling kaya, tingkat kemakmuran
penduduknya cukup tinggi, fasilitas hidup mulai dari yang maksiat sampai
tidak maksiat tersedia di sana. Akan tetapi, tingkat kriminalitas
tertinggi di dunia dipegang oleh Amerika. Jumlah perkosaan, pembunuhan,
pencurian, dan lain-lain sampai saat ini masih belum ada yang melampaui
Amerika. Ini menunjukkan bahwa kenikmatan materi tidak bisa dijadikan
jaminan bagi warga negara untuk memperoleh kebahagiaan hidup.
Negara ketiga yang disurvey adalah Jepang.
Negara ini pendapatan perkapitanya cukup tinggi. Karena itu jelas
kenikmatan materi bisa dicapai penduduknya tercukupi dengan baik. Pada
tahun 1995, pendapatan perkapita Jepang bila dibandingkan dengan
Indonesia berkisar kira-kira 1:23. Begitu pun penduduk Indonesia sudah
merasa makmur padahal hanya 1/23 nya dari kemakmuran Jepang. Namun,
survey tersebut juga menunjukkan bahwa Jepang justru merupakan negara
yang paling gelisah di dunia saat ini.
Misalnya, jumlah penjualan minuman keras tiap tahun bertambah, demikian
juga bunuh diri. Bunuh diri remaja Jepang tertinggi di dunia. Tingkat
kriminalitas di Jepang mencapai 60% dilakukan oleh anak-anak di bawah
umur 25 tahun. Fakta ini menunjukkan betapa tidak bahagianya kehidupan
mereka.
Salah seorang jurnalis terkenal dari Inggris pernah melakukan penelitian di kota terbesar dunia, New York,
disimpulkan bahwa kehidupan di New York pada dasarnya hanyalah bungkus
indah dari segala macam penderitaan dan kesengsaraan manusia. Dengan
kata lain kebahagiaan dan kesengsaraan yang dinikmati oleh penduduk di
negara-negara maju itu sebenarnya kamuflase yang sejatinya menyimpan
kesengsaraan dan penderitaan.
Kalau materi tidak mendatangkan kebahagiaan hidup, mungkin orang
menganggap kebahagiaan itu terletak pada keluarga. Menurut mereka anak
yang baik bisa memberikan kebahagiaan. Tetapi banyak orang yang memiliki
anak justru sering ribut dan menimbulkan masalah –masalah baru. Mungkin
pula orang mencari kebahagiaan dengan menggeluti berbagai ilmu
pengetahuan. Tapi kenyataannya pengetahuan pun tidak memberi jaminan
seseorang memperoleh kebahagiaan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada
kenikmatan dan tercukupinya materi, banyaknya anak atau luasnya
pengetahuan yang dicapai. Kembali pada konsep kebahagiaan yang diberikan
oleh agama Islam, ternyata faktor dominan kebahagiaan tidak bisa
ditemukan di luar diri, melainkan dari dalam diri. Faktor-faktor luar
seperti kemakmuran, kekayaan, keluarga, kedudukan, pengetahuan adalah
sebagai faktor penunjang kebahagiaan. Artinya, faktor penunjang akan
dapat menyempurnakan kebahagiaan hidup apabila sudah ditemukan faktor
dominatifnya. Dan faktor yang menentukan ini berada di dalam diri
manusia.
Apa sebenarnya yang menjadi faktor dominatif kebahagiaan itu?
Al-Quran maupun Sunnah telah memberikan jawaban bahwa faktor dominatif
yang menyebabkab orang bisa memperoleh kebahagiaan adalah “sakinatul qalb”,
ketenangan hati. Orang yang memiliki hati yang tenang, tentram, dan
stabil berarti sudah mempunyai modal yang sangat besar untuk memperoleh
kebahagiaan hidup. Jika modal ini ditunjang oleh kekayaan, keluarga,
karier yang baik, kedudukan tinggi, kesehatan prima akan merupakan
kesempurnaan kebahagiaan duniawi.
Dengan demikian, kebahagiaan hidup itu memiliki dua faktor. Pertama, faktor dominan yaitu berupa sakinatul qalb, ketengan atau ketentraman hati karena adanya iman dan kedekatan kepada Allah. Kedua,
faktor penunjang seperti kekayaan, jabatan, kesehatan dan sebagainya,
yang sifatnya berada di luar diri manusia. Faktor dominan itu mesti ada
untuk timbulnya kebahagiaan. Tidak adanya faktor dominan menyebabkan
kebahagiaan akan hilang. Akan tetapi, tidak adanya faktor penunjang
belum tentu kebahagiaan seseorang hilang. Idealnya memang seseorang
memiliki faktor dominan dan penunjang sekaligus sehingga kebahagiaan
yang diperolehnya sempurna.
Terdapat kisah yang cukup menarik dari Abu Bakar, Abu Bakar adalah
salah seorang yang diakui dan dihormati oleh Nabi, termasuk sahabat yang
paling tenang jiwanya (sakinah). Sakinah bisa diterjemahkan
secara kasar dengan satu “kehidupan ruhani yang stabil”. Pada waktu Abu
Bakar diangkat sebagai khalifah – sebuah kedudukan yang begitu tinggi,
puncak, terhormat di kalangan kaum muslimin saat itu-ternyata kedudukan
itu sepertinya tidak mempengaruhi kebahagiaan hidupnya. Hal ini bisa
dilihat dari dua hal. Pertama, ketika dilantik sebagai
khalifah, dalam sumpah jabatannya dia mengucapkan, “Saya bukanlah orang
yang paling baik di antara kalian, tetapi dengan adanya jabatan ini saya
adalah orang yang paling berat memikul tanggung jawab dibandingkan
dengan kalian semua”. Dia memandang kedudukan khalifah bukanlah hal yang
menyenagkan, tetapi suatu amanah yang harus dipikul. Kedua,
setelah dilantik sebagai khalifah dan menjadi orang yang pertama dalam
komunitas Islam ternyata Abu Bakar masih bekerja setiap dengan berjualan
di pasar. Melihat hal yang demikian Umar bin Khattab mengatakan bahwa
orang yang sudah menjadi pejabat negara harus disediakan kebutuhan
hidupnya sebagai kompensasi tugas-tugasnya melayani masyarakat. Karena
jika tidak tugas-tugas kenegaraannya akan terbengkelai. Umar mengharap
Abu Bakar tidak lagi tiap hari bekerja di pasar karena harus siap
menerima persoalan yang menjadi kebutuhan umat. Abu Bakar menjawab, “
Umar, saya pergi ke pasar karena tugas ini merupakan fardhu ‘ain, kewajiban
yang harus saya tunaikan. Saya wajib mencukupi kebutuhan hidup
keluarga. Sementara menjadi khalifah mengurusi umat merupakan fardhu kifayah.
Contoh itu menunjukkan bahwa orang seperti Abu Bkar melihat kedudukan
bukan merupakan hal yang mendatangkan kebahagiaan, melainkan sebaliknya
menimbulkan persoalan baru. Hal ini berbeda dengan situasi sekarang
dimana kedudukan merupakan sumber dari segala macam kebahagiaan dan bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan apa saja. Di negara-negara maju,
orientasi memperoleh kedudukan barangkali berbeda dengan negara-negara
sedang berkembang. Amerika Serikat misalnya, kandidat kepala negara
umumnya memiliki kekayaan/modal dulu sebelum menjadi presiden. Tetapi di
negara-negara sedang berkembang, biasanya jadi presiden dulu baru kaya.
Nabi Muhammad SAW diingatkan Allah SWT dalam sebuah ayat yang berbunyi:
فلا تعجبك أموالهم ولا أولادهم انمايريد الله ليعذ بهم بها فى الحيواة الدنيا…(التوبة 55)
“Janganlah kekayaan dan anak-anak (yang kelihatan tampan dan
gagah) yang dimiliki oleh orang-orang Makkah itu sampai memukau hatimu.
Allah menghendaki untuk menyiksa mereka (dengan dengan kekayaan dan
keluarga) dalam kehidupan dunia” (al-Taubah: 55). Mengapa Nabi
Muhammad tidak boleh terpukau dengan harta dan anak-anak yang dimiliki
orang-orang Makkah? Karena harta kekayaan dan anak-anak itu tidak mesti
memberikan kebahagiaan kepada mereka. Malah sebaliknya Allah menghendaki
kekayaan dan kemuarga itu sebagai siksaan bagi mereka dalam kehidupan
dunia. Jadi, ada harta dan anak-anak yang dilihat orang luar seakan-akan
menjadi kebahagiaan, tetapi bagi yang memilikinya boleh jadi merupakan
suatu siksaan. Dengan sendirinya harta dan keluarga demikian itu pada
dirinya tidak terdapat apa yang disebut “sakinatul qalb”.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari cukup banyak orang yang tersiksa
karena harta kekayaannya, bahkan kadang-kadang hartanya menyibukkan dan
tidak mendatangkan ketenangan.
Al-Quran membuat istilah bermacam-macam tentang kedudukan anak dalam kehidupan keluarga. Pertama,
Allah memberikan suatu pernyataan bahwa anak dan harta boleh jadi akan
menjadi godaan (fitnah) bagi orang yang memiliki. Firman Allah
واعلموا أنما أموالكم و أولادكم فتنة. (الآنفال 28)
“Ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu merupakan suatu fitnah godaan”
(Al-Anfal: 28) Di dalam beberapa kitab tafsir dinyatakan bahwa godaan
yang paling besar dan menyita hampir sebagian besar waktu seseorang
adalah harta dan anak-anak.
Allah juga mengingatkan dalam ayat yang lain
يايهاالذين امنوا لا تلهكم أموالكم ولا أولادكم عن ذ كرالله …
“Wahai orang-orang yang beriman jangan sampai harta kekayaanmu
dan anak-anakmu melupakan atau melengahkan kamu sehingga tidak mempunyai
waktu untuk ingat kepada Tuhan” (al-Munafikun: 9). Karena anak dan harta potensial menjadi godaan yang melupakan seseorang pada tugas-tugas keagamaan.
Kedua, harta dan anak bisa menjadi musuh
bagi yang memiliki. Kalau ayat di atas anak dan harta menjadi godaan,
pada ayat berikut Allah memperingatkan lebih gawat lagi pada manusia,
… ان من أزواجكم وأولادكم عدوا لكم فا حذروهم …(التغابن 14)
“Sebagian dari isterimu (suamimu) dan anak-anakmu akan menjadi
musuh bagi dirimu sendiri. Oleh sebab itu, hati-hatilah menghadapi
isteri (suami) dan anak”. (at-Taghobun :14). Ayat ini dengan tegas
memperingatkan manusia bahwa jika salah dalam mendidik anak dan keliru
menghadapi isteri/suami maka keduanya tidak menambah kebahagiaan, malah
akan menjadi musuh dalam rumah tangga sendiri.
Meskipun demikian, al-Quran sendiri memberitahukan bahwa di samping
menjadi penggoda dan musuh, harta dan anak tetap menjadi hiasan hidup
yang amat didambakan oleh setiap orang. Allah berfirman,
المال والبنون زينة الحيواة الدنيا… (الكهف 46)
“Harta dan anak itu merupakan hiasan kehidupan dunia” (al-Kahfi :46). Dalam ayat lain, anak anak dipandang sebagai qurrotu a’yun (penyenang hati).
ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين.
Kembali pada konsep awal bahwa kebahagiaan berasal dari dalam yakni “sakinatul qalb”, dan yang berasal dari dari luar hanya penunjang, ada satu ungkapan dari ulama-ulama yang menyatakan, la sa’adata bi la sakinnah, “tidak ada kebahagiaan tanpa ketenangan”. Wallahu a’lamu
Senin, 06 Januari 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar